Mohon tunggu...
Eko Setiawan
Eko Setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tukang makan namun tetap langsing :D

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dosen “Sempalan”

16 Juni 2013   15:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:56 2694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari yang lalu setidaknya terdapat dua tulisan Kompasianer yang berhubungan dengan dosen. Yang satu ditulis oleh Pak Dosen Muhammad Armand, Wajah Kelabu Sidang Skripsi di Perguruan Tinggi. Yang keduaberjudul Saya Gelisah setelah Mengalahkan Profesor di Meja Ujian dan ditulis oleh Pak Adhyepanritanlopi. Tulisan ini, sejujurnya, muncul karena terbitnya dua tulisan tersebut. Tulisan saya buat berdasarkan pengamatan pribadi dan cerita teman. Ketiga dosen – yang tercantum di sini – saya katakan “menyempal” karena hal tertentu yang mereka kerjakan yang terlihat unik, khas, dan berbeda dari kebanyakan dosen yang pernah saya amati maupun kenal. Setidaknya nyrempet-nyrempet lah, “nyempalnya”, he he he. Karena sebatas pengamatan dan pengalaman pribadi serta cerita dari kalangan terbatas, tentu masih banyak dosen-dosen lainnya yang juga berada di luar mainstream dosen Indonesia. Mungkin perihal ini Ibu-Bapak Kompasianer memiliki data dan bersedia berbagi juga.

Siapakah mereka? Inilah ketiga dosen tersebut. O ya, saya tuliskan ketiganya berdasarkan urut abjad ya?

Yang pertama, Prof. Abdullah Alkaff.

Saya mengetahui dosen yang satu ini sewaktu sedang menempuh pendidikan S1 di sebuah perguruan tinggi (PT) di Jawa Timur. Merupakan keturunan Arab (kayaknya sih, he he), pria berperawakan tinggi agak kurus dan berambut gondrong ini sekarang menjadi staf ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di bidang Organisasi dan Manajemen. Beliau merupakan dosen tetap di Jurusan Teknik Elektro dengan keahlian Sistem Pengaturan. Karena keahliannya itu, yang saya dengar, Pak Alkaff – demikian namanya sering dipanggil – termasuk salah satu dosen pelopor pendirian jurusan di mana saya menempuh ilmu. Karena bidang kajiannya itu pula, terutama yang berkaitan dengan model-model stokastik, Pak Alkaff diminta untuk mengajar di jurusan kami sekaligus menjadi pembimbing dan penguji Tugas Akhir.

Dalam hal terakhir itulah Pak Alkaff terlihat unik.

Santer terdengar kalau Pak Alkaff merupakan dosen pembimbing killer. Ia memiliki standar Tugas Akhir (TA) yang – bagi kami – terdengar “menyeramkan”. Belum lagi, ia sering menyuruh anak-bimbingnya untuk juga memerkaya pemahaman dengan banyak-banyak membaca literatur berbahasa Inggris. Dengan rambut gondrong dan tampilan jarang tersenyum (setidaknya begitu yang saya amati), lengkap sudah predikat Pak Alkaff sebagai “pembimbing seram”.

Namun baiknya (dan inilah keunikan lainnya), Pak Alkaff akan membela mati-matian anak-bimbingnya di dalam forum sidang TA. Pernah, TA salah satu teman saya dibimbing oleh beliau. Singkat cerita, si kawan ini telah berhasil melewati fase “bimbingan yang menyeramkan” di atas dan diperbolehkan maju sidang TA. Waktu itu sidang TA di tempat kami terdiri atas dua tahap. Tahap pertama – mudah-mudahan saya tidak salah mengingat – merupakan hasil TA bab I hingga bab metodologi penelitian. Sisanya – pengumpulan data, analisis dan pembahasan, dan kesimpulan – disidangkan di tahap kedua. Nah, sidang tahap pertama bersifat terbuka, termasuk bagi mahasiswa lainnya. Saat si kawan menjalani sidang tahap pertama ini, saya ikut menyaksikan. Tibalah seorang dosen muda – sekarang telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya dari Australia – bertanya, “Mengapa Anda menggunakan pendekatan probabilistik untuk permasalahan yang Anda angkat, dan bukannya pendekatan deterministik?” Belum sempat teman saya menjawab, Pak Alkaff sudah langsung “turun gelanggang” menanggapi pertanyaan si dosen penguji. Tanggapannya sedemikian, hingga saya lihat si ibu dosen muda terlihat sembab matanya. Kawan saya, sementara itu, hanya diam saja sambil tersenyum. Hal yang hampir sama terjadi dengan mahasiswa lainnya kakak kelas kami. Bedanya, situasinya sedemikian hingga si dosen penguji tersinggung oleh “sikap unik” Pak Alkaff ini dan memutuskan meninggalkan ruangan.

Yang kedua, Prof. Abdullah Shahab.

Tidak seperti Pak Alkaff, Pak Shahab – demikian mahasiswa memanggil beliau – berperawakan kecil. Keturunan Arab juga (wah, bukan bermaksud sara lho ya), Pak Shahab merupakan pakar metalurgi di Jurusan Teknik Mesin di PT yang sama. Pak Shahab, sebagaimana halnya Pak Mendikbud yang sekarang ini, memiliki kecakapan ilmu agama. Sering beliau diminta menjadi khotib Jumat di masjid kampus. Satu waktu, karena kedalaman ilmu agamanya itu, kajian Islam di jurusan saya juga mengundang beliau untuk memberikan siraman rohani kepada kami. Kemungkinan besar karena pertambangan kefahaman agama itu, satu waktu beliau pernah menjadi pengantar diskusi dengan pembicara utama KH. Mustofa Bisri, Rembang, mengenai Islam dan Keberagaman ("bukan keberagaman; yang lebih tepat adalah keberagamaan," kritik Gus Mus) di Masjid Al Falah. Link berikut adalah sedikit gambaran mengenai Pak Abdullah Shahab.

Yang menarik, berbeda dengan dosen-dosen kami lainnya, Pak Shahab lebih memilih untuk bersepeda bila bepergian jarak dekat atau naik angkot bila terdapat keperluan pergi ke tempat yang jauh. Pernah beliau menaiki sebuah sepeda berukuran kecil, kalau tidak salah mirip sepeda gunung untuk anak-anak remaja. Kali lain saya sempat menyaksikan beliau menggunakan sepeda mini (itu, sepeda berukuran kecil yang di depannya ad arak untuk berbelanja). Sepeda-sepeda inilah teman setianya ketika menempuh perjalanan di sekitar kampus dan tempat tinggalnya (yang memang berada di kompleks PT yang sama). Hanya bila bepergian jauh yang agak muskil ditempuh dengan sepeda, barulah beliau menggunakan sarana angkotan kota yang ada. Hal terakhir ini pernah saya saksikan sendiri, ketika suatu saat beliau turun dari angkot lane O trayek Keputih-Jembatan Merah. Sempat kami sapa beliau dan bertanya dari mana. Beliaupun menjawab dengan santai, terlihat cuek dengan rasa heran kami. Kesaksian salah satu murid terhadap "hobi" Pak Shahab ini dapat dilihat di link berikut.

Yang ketiga, Dr. Artidjo Alkostar, SH, LLM.

Berbeda dengan kedua dosen di atas yang pernah saya saksikan langsung, Pak Artidjo saya dengar keunikannya dari seorang teman yang pernah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi di mana beliau mengajar. Nampaknya beliau masih menyempatkan diri untuk mengajar di almamaternya saat ini di tengah-tengah tugasnya sebagai salah satu Hakim Agung di MA. Seorang dosen dengan keahlian di bidang hukum (Hukum Acara pidana?; bila salah, mohon ada yang berkenan memberikan koreksi), beliau dikenal juga sebagai pejuang keadilan. Selain menjadi dosen, Pak Artidjo juga lama menjadi salah satu aktivis di LBH Yogyakarta.

Perihal Integritas dan rekam jejak Pak Artidjo yang relatif “harum”, banyak yang sudah tahu. Lalu apakah yang "menyempal" dari seorang Artidjo Alkostar sebagai seorang dosen?

Beliau adalah seorang sederhana, demikian kata kawan saya di atas. Sebuah situs menegaskan kesaksian si kawan ini. Sedemikian sederhananya sehingga, berbeda dari kebanyakan dosen, beliau hanya memiliki sebuah sepeda motor merek Honda Astrea tahun 1985. Dan satu yang nampaknya sedemikian berkesan bagi kawan saya di atas: ke mana-mana, sewaktu masih aktif secara penuh sebagai dosen di Yogyakarta, Pak Artidjo Alkostar sering menggunakan angkutan umum. Sebuah berita Kompas yang ditampilkan di situs ini menyebutkan, di tahun 2001, beliau masih sering naik bajaj dan tidak memiliki mobil. Tautan ini - yang sudah saya “colek” di atas - memberikan testimoni bahwa kesederhanaan sang Hakim Agung tidaklah luntur hingga saat ini.

Langgam membimbing dan menguji, hal bersepeda, serta perihal naik angkutan umum dari ketiganya adalah fakta. Penggunaan sebutan "sempalan" adalah pendapat pribadi. Yang terakhir itu, tentu saja, sangat subyektif dan sangat sah untuk diperdebatkan.

Selamat menikmati hari Minggu.

*****oooOooo*****

Selly Oak, 16/06/13

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun