Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu Hidup
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pantang mundur seperti Ikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelusuri Jejak Topeng Slilir: Akar Historis Budaya Topeng Panji Khas Malangan (Bagian 3)

20 Januari 2021   14:59 Diperbarui: 20 Januari 2021   15:00 897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Topeng dalang Malang kategori luar keraton adalah salah satu kesenian yang mampu bertahan hidup pasca masa Hindu-Buddha, bahkan eksistensinya berlanjut hingga sekarang. Wayang topeng berlakon wiracarita asal India (Mahabarata dan Ramayana) turut surut sei-ring terjadinya dekadensi pengaruh kebudayaan India di lingkungan keraton. Tidak demikian halnya dengan wayang topeng berlakon Panji -- suatu lakon dengan latar anakronisme sejarah regional Jawa masa Jenggala-Kadiri (Panjalu) serta masa keemasan Majapahit. Surut hingga runtuhnya pengaruh kebudayaan India itu tak menyebabkan wayang topeng berlakon drama-sejarah Jawa yang ditokohi oleh para Panji surut total dan kemudian ditinggalkan oleh para pemangkunya, sebab ia tidak dirasakan sebagai produk seni yang dibentuk dari anasir budaya asing.

Pasca masa Hindu-Buddha topeng dalang Malang melanjutkan eksistensinya, baik di desa-desa yang pada masa sebelumnya menjadi tempat keberadaannya maupun di desa-desa lain yang mulanya bukan tempat keberadaannya. Ada dua kawasan konsentrasi keberadaan topeng dalang, yaitu: (1) lembah dan lereng Gunung Tengger wilayah Distric Tumpang (kini meliputi Kec. Pakis, Jabung, Tumpang dan Poncokusumo); (2) lembah hingga lereng Gunung Kawi dan lereng utara Pegunungan Kapur Selatan wilayah Distrik Sengguruh (kini meliputi Kec. Kromengan, Sumber Pucung, Kalipare dan Pakisaji). Disinilah posisi keberadaan topeng Slilir berada, yang dimulai oleh Mbah Noto. (Artikel akan ditulis terpisah dari seri tulisan ini ).

Selain itu, meski tidak sebanyak di kedua kawasan tersebut, ketika itu topeng dalang juga hadir di Kec. Karangploso, Lawang, Turen dan Wajak. Kendatipun Karangploso bukan merupakan kawasan sentra topeng dalang, namun pada awal abad XX di salah satu desa pada Kecamatan ini tampil Kek Reni, pimpinan sanggar topeng dalang di Polowijen sekaligus guru tari dari para calon pimpinan sanggar tari topeng di wilayah Kec. Jabung-Tumpang dan Pakisaji.  

Setelah kita kehilangan informasi mengenai topeng dalang Malang dari Masa Perkem-bangan Islam (XVI-XVIII M.), informasi yang cukup rinci tentangnya didapati kembali pada Masa Imperalisme Sisipan Inggris (1810-1815). Dalam Bab VIII pada buku 'History of Java' karya Thomas Stamford Raffels dipaparkan perihal seni pertunjukan topeng. Namun sayang tidak disertai keterangan menanai seni topeng di daerah mana yang dipaparkannya. Namun, jika menilik karakternya, yakni topeng dalang berlakon Panji, dimana pemainnya berbusana ala busana kuno, mengingatlkan kita pada topeng dalang di Malang.

Dinyatakan lebih lanjut dalam buku itu bahwa tokoh peran tanpa kecuali diambil dari cerita petualangan Panji -- pahlawan favorit di dalam cerita Jawa. Dalang menjadi sutradara sekaligus penyampai dialog. Para pemain tinggal menyesuaikan tindakkannya dengan kata-kata yang diucapkan dalang. Dalam kasus tertentu, dalang yang sudah amat mengerti tentang kejadian yang paling utama, gambaran dan kata-kata tentang sejarah, melengkapi dialog para pemain yang masih belum siap. Keseluruhan pertunjukan lebih menampilkan sifat sendratari. Percintaan dan perang adalah tema yang senantiasa ada, dan pertempuran antara dua pemim-pin yang bertentangan biasanya menjadi menutup pagelaran. Satu grup tari topeng biasanya terdiri dari 10 orang di samping dalang, dengan komposisi empat orang memainkan waditra gamelan dan enam lainnya memainkan karakter. Mereka melakukan pertunjukan pada malam hari, dan [kala itu] dibayar 10 rupe (dua puluh lima shilling) berikut makan malam.

Gambaran yang lebih rinci mengenai kesenian topeng Malangan, didapati dalam buku Th. Pigeuad "Javaansse Volksvertoningen", 1938. Paparan didasarkan pada obyek pengamat-an terhadap wayang topeng di Malang Timur dan informasi dari Bupati Malang R.A.A. Surio Adiningrat.  Tokoh-tokoh yang digambarkan semuanya dari cerita Panji, yang terdiri dari 36 tokoh peran. Tokoh yang istimewa adalah Klana Bapang, yang berhidung sangat panjang dan lancip. Cerita-Panji menjadi pokok tema pada lakon-lakon wayang topeng di Malang. Hanya sesekali terjadi ada lakon yang diambil dari wayang purwa ataupun cerita Ambiya. Kala itu Bupati Malang mempunyai seperangkat topeng yang indah.

Foto dokpri M. Dwi Cahyono
Foto dokpri M. Dwi Cahyono
Foto dokpri M. Dwi Cahyono
Foto dokpri M. Dwi Cahyono
Pada tahun 1930an sudah terjadi degradasi jumlah sanggar seni topeng di Malang. Se-niman topeng yang terkenal berasal dari Pucangsongo. Bahkan kepala desanya sendiri, yaitu Saritruno, dikenal sebagai pandai menarikan topeng. Tidak semua pemainnya adalah seniman profesional, namun tak sedikit pula yang amatiran. Mereka adalah petani dan ada diantaranya yang berasal dari kalangan baik-baik. Pemberintah Kabupaten (regent) Malang kala itu bah-kan mengharuskan para pemuda dan priyayi di Malang dan di sekitarnya untuk dapat menari topeng. Tidak ada pemain perempuan, keseluruhnya adalah laki-laki.

Pertunjukan wayang topeng secara berkeliling (ambarang) jarang didapati di Malang. Waktu pementasan pada malam atau siang hari, kecuali di malam Jumat. Pementasan topeng biasanya pada acara perhelatan keluarga dan ketika pesta buka giling pabkrik gula. Gamelan pengingnya berjenis pelog, dengan alasan jenis ini lebih disukai dalang. Gending pengiring bagi Prabu Klana adalah gagaksetra, lalu giro-Jawa, kemudian biskalan. Gending pengiring untuk Gunungsari adalah bedat (barang) atau gandariya. Gending pengiring 'perang gagal' antara Gunungsari dan Klana adalah cerbonan, adapun pada perang yang sebenarnya adalah ayak-ayakan. Topeng Malang digambarkan dengan mulut tertutup. Ketika itu perajin topeng yang utama bertempat di Karangploso. Tekes sebagai penutup kepala tidak dikenakan disini. Tropong Klana Bapang dihias dengan garuda mungkur. Mata kaki pemian utama mengena-kan gongseng, yang ketika menari kakinya dijejakkan ke lantai, sehingga menimbulkan suara gemerincing -- suara yang amat disukai oleh warga Jawa Timur dan Madura.

Foto dokpri M. Dwi Cahyono
Foto dokpri M. Dwi Cahyono
Foto Dokpri M.Dwi cahyono
Foto Dokpri M.Dwi cahyono
Pada tahun 1930an wayang topeng sangat populer di Malang. Popularitasnya bahkan hingga ke daerah-daerah jirannya, seperti Pasuruan (Bangil, Pandaan, Prong, Sidoarjo) serta Lumajang. Maraknya kesenian topeng di Malang, menurut Djoko Suryo (1985:47) dan Ong Hokham (1982), adalah berkat campur tangan dari Bupati Malang R.A.A. Soerio Adingrat. Hingga tahun 1950an masih terdapat cukup banyak sanggar wayang topeng di penjuru wila-yah Malang, yaitu (a) Malang Utara: Polowijen dan Jatimulyo Kec. Blimbing, Kalisurak Kec. Lawang), (b) Malang Selatan: Pojok Kec. Dampit, Gedok dan Undagan Kec. Turen, Page-laran Kec. Gondanglegi, Kedungmonggo Kec. Pakisaji, Jenggolo Kec. Kepanjen, Senggreng, Jatiguwi, Turus dan Jambuwer Kec. Sumber Pucung, Kopral Kec. Kalipare, Pijiombo Kec. Talun), (c) Malang Timur: Jabung dan Precet Kec. Mantren, Pucangsongo, Wangkal, Glagah-dowo dan Gubugklakah Kec. Tumpang, Jambesari dan Cada Kec. Wajak. Menilik daerah persebarannya itu, kesenian topeng Malang terkonsentrasi di lereng dan lembah G. Tengger, Kawi dan Peg. Kapur Selatan dan sedikit di lembah G. Arjuno. Basis keberadaannya adalah di pedesaan, sehingga cukup alasan untuk menyatakan bahwa topeng dalang Malang merupa-kan kesenian rakyat pedesaan. Adapun sub-area Malang barat dan tengah nyaris tak menjadi basis bagi sanggar wayang topeng. Pada masa tersebut topeng Slilir juga memasuki masa keemasannya. Ini terkisah dari para sesepuh Dusun Slilir yang pernah menyaksikan gebyar pagelaran Seni topeng pada masa tersebut.

Bupati Malang R.A.A. Soerio Adiningrat pernah memiliki koleksi kriya topeng kayu yang indah sebanyak 21 buah, yang dikoleksinya sejak tahun 1928.  Namun pada tahun 1938-an benda-benda koleksinya ini telah berpindah tangan menjadi koleksi Java Instituut. Kurang jelas apakah benda-benda berharga itu kini masih berada di Museum Nasional Jakarta atau-kah telah hijrah ke Negeri Belanda. Hal serupa terjadi pada seni kriya topeng karya seniman topeng legendaris Kek Reni di Polowijen, yang kini hanya tinggal sebuah yang dimiliki oleh keturunannya. Barangkali tinggal seperangkat topeng di Pucangsongo yang masih terpelihara baik di tangan pemiliknya. Hal yang sama juga terjadi pada properti Topeng Asli Slilir karya Mbah Noto yang keberadaannya juga telah berpindah tangan. Penelusuran terus dilakukan pegiat yang merupakan anak cucu Mbah Noto, semoga segera diketemukan kembali keberadaannya.

Acara bedah kisah Panji bersama M. Dwi Cahyono di cafe Mesem tumpang dalam acara Padang mbulan
Acara bedah kisah Panji bersama M. Dwi Cahyono di cafe Mesem tumpang dalam acara Padang mbulan
Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak M. Dwi Cahyono dan semua narasumber dalam acara bedah sejarah Panji yang telah dilaksanakan pada acara padhang Mbulan di Cafe mesem Tumpang Kabupaten Malang pada 30 November 2020. Pencerahan bab cerita Panji ini perlu kami pahami, sehingga kami pegiat penelusuran kembali Topeng Slilir bakalan Krajan kota malang memiliki pengetahuan dan semangat untuk merekonstruksi topeng Slilir, sebagai suatu ikon budaya asli slilir agar tetap lestari dan dapat ditampilkan kembali dalam event budaya di dusun Slilir, Bakalan Krajan kota Malang diwaktu waktu mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun