Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu Hidup
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pantang mundur seperti Ikan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Fokus! Kunci Pengembangan Start-up Kampung

8 Desember 2020   13:38 Diperbarui: 8 Desember 2020   13:48 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri foto, start up itu mendaki

Tulisan ini didasarkan pada pengalaman menjadi start up, memulai sebuah ide mengangkat potensi kampung tematik menjadi peluang usaha yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar  melalui ekonomi kreatif dan destinasi wisata kampung. Secara konsep hal ini sangat brilian, namun banyak tantangan yang harus dilalui dan bagaimana solusinya. Berikut ulasannya, semoga menginspirasi.

Tantangan start up kampung 

Sesuatu yang baru itu butuh perjuangan dan proses. Start up itu didepan, mendaki, penuh pengorbanan dan kadang tidak bisa memprediksi ada apa di depan. Ibaratnya kita membuka jalan pendakian baru kesebuah gunung dan tidak ada jalan keatas. Perlu energi ekstra dan fokus total pada tujuan.

Start up kampung berbasis keswadayaan dengan dukungan masyarakat dengan berbagai latar belakang dan perbedaan, untuk mencapai suatu tujuan yang ingin dicapai bersama. Membangun satu visi dan misi ini tidak mudah dibentuk, apalagi tingkat pendidikan yang tidak sama, sehingga mempengaruhi pemahaman. Tingkat ekonomi juga berpengaruh, misal karena profesinya tukang batu, dan sepi order, praktis daya dukung finansialnya juga rendah. Karena dia sibuk urusan perut keluarganya. Dia tak bisa membantu banyak, karena dia sendiri kelaparan dan diminta kerja bakti, ya lemot, karena belum makan. Apalagi diminta urunan. Dia angkat tangan.

Faktor kepentingan pribadi dan pandangan politik juga mempengaruhi kinerjanya. Faktor like dan dislike sangat besar kontribusinya ketika diajak kolaborasi membangun start up kampung. Inilah sedikit dinamika yang saya lihat saat pertama kali menjadi start up kampung di tahun 2016 lalu.  Saling curiga, tak mau dukung, hanya jadi penonton, sok pintar sok mimpin, tapi diserahi tanggung jawab malah tidur adalah potret SDM kampung yang rupa rupa warnanya itu. Jelas ini beda, jika dikembangkan dalam lingkungan profesi, akademisi atau komunitas. Ada kesamaan tujuan, ada kemauan kerja dan ada garis komando yang jelas. Di kampung? Itu tak ada. Para start up dianggap kakean polah, sinting, kurang kerjaan dan aneh. Apalagi mengajak hal baru yang buktinya belum ada. Pola pikirnya hanya sebagai pengikut, pengekor dan pengcopy paste, dibelakang, bukan leader didepan. Keberanian itu tak ada, yang ada takut, kecurigaan dan penilaian tanpa alasan. Seolah diajak mimpi bersama. Namun setelah mencapai suatu hasil, orang orang ini akan tampil sebagai pahlawan kesiangan dan mengklaim ini gua. Ini aku. Kemudian agar ketokohannya menonjol, kadang yang jadi start up, dikorbankan dan kemudian disingkirkan. diganti para pahlawan yang menikmati kue lezat tapi dahulunya tidak melakukan apa apa. Ini real ada, hanya karena like dan dislike. Tindakan pembodohan yang nyata ada dan sangat tidak elok serta memprihatinkan. Sebuah potret tidak profesional. 

Jika demikian, apa solusinya? 

Pertama bangun komunikasi rutin, berkala dan miliki perencanaan. Jangan tergantung pada satu tokoh saja. Bangun team dan ada pembagian tugas dan kewenangan didalamnya. Tegaskan hak, kewajiban dan apa yang diperolehnya disitu. Jika perlu bangun penguatan kelembagaan hingga memiliki status berbadan hukum pasti. Ini mengantisipasi disingkirkannya para start up yang berjuang pada awalnya. 

Pertemuan rutin adalah wadah komunikasi dan sosialisasi. Ini tujuan bersama, berjuang bersama. Bukan keinginan atau kepentingan ketua atau satu orang saja. Pertemuan ini berisi, curhat semua anggota. Rencana kedepan apa. Apa yang telah dicapai. Kendalanya apa. Ini harus ada, tanpa pertemuan rutin, organisasi akan pelahan mati karena anggotanya tidak tahu untuk apa gabung, apa manfaatnya. Anggota harus dihargai dan diwadahi. Yang jadi leader, jika menyangkut soal uang, harus terbuka, dilaporkan dan ada pertanggungjawaban. Tidak bisa sebuah organisasi tanpa rapat rutin, karena sama halnya serumah tapi tidak saling tegur sapa dan mencari tujuannya sendiri sendiri. 

Fokus pada tujuan 

Para pegiat kampung yang menjadi start up ini harus fokus pada tujuan. Karena posisinya dikampung, mau tidak mau harus banyak terlibat urusan sosial di masyarakat. Kadang para start up kampung ini tidak fokus, sehingga inkonsisten mengawal tujuan yang digagasnya. Tumpang tindih tugas ini yang membuat para start up kehabisan waktu karena sibuk mengurusi urusan lain lain.

Fokus adalah kunci pengembangan start up kampung. Pilah dan pilih mana yang diutamakan, agar tujuan penting jangan sampai dikalahkan tujuan sosial kemasyarakatan yang lain. Jangan rangkap rangkap jabatan, fokus saja bidang tertentu sesuai garis organisasi yang disepakati dalam ad/art yang dibangun. Tumpang tindih sangat tidak efektif, karena hasilnya tidak maksimal. Jika ada tugas baru yang tidak relevan dengan tujuan, lebih baik ditolak saja. Beri kesempatan yang lain untuk berkiprah. Biasakan berbagi tugas dan berdayakan semua anggota agar punya kesempatan tampil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun