Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu Hidup
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pantang mundur seperti Ikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sarjana 4.0

21 Februari 2019   10:44 Diperbarui: 21 Februari 2019   11:00 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Industri 4.0 sumber dari https://www.kaercher.com

Ini hanya sebuah kertas. Namanya ijasah. Sawah dan kerbau emakku dijual untuk menebus lembaran kertas ini. "Kowe kudu dadi wong gedhe le!" bisik emakku lirih sembari menyerahkan uang hasil penjualan kerbau terakhir yang dimiliki emak. Kini emak sudah menjual semuanya. "Kowe iki sekolah kok bodo banget, larang mung oleh nilai 2,95 lhe" desah Bapak yang tidak mengerti batas nilai untuk sarjana dengan IP 4.0. Aku lebih baik diam dari pada berdebat kusir dengan Bapak. Jujur, nilai IP ku hanya sampai segitu. Itu sudah maksimal, namun hanya sampai disitu kemampuanku.

Tiga hari lalu aku kembali datang di ujung kampung dimana dulu aku pernah kost. Daerah ini sangat padat penduduk. Bukan penduduk asli, tapi anak anak kost. salah satunya diriku. 15 hari lalu aku pamit pada Ibu Kostku hendak pulang kampung. Dua minggu dikampung aku tidak tega dengan Bapak dan emak yang sekarang sudah tidak punya sawah dan kerbau lagi. 

Bapak jadi Buruh cangkul ikut juragan Lurah, dan emak jadi tukang cuci di rumah juragan warga tionghoa. Mereka menjadikan aku raja dirumah selama 2 pekan itu. Emak cerita ke tetangga jika aku akan jadi orang gedhe. emak jual sawah dan kerbau untuk ditukar dengan ijasah sarjana. "Sekolah duwur Yu, Mik anakku thok sing duwe!" cerita emakku bangga.

Sawah emak memang tidak luas, tapi bisa panen padi 2 kali setahun. Kami tidak perlu beli beras, karena kebutuhan setahun sudah tercukupi. Bahkan untuk zakat, emak bisa mensisakan 2 kwintal ke panitia masjid. Bapak memelihara 8 kerbau. Tiap Tahun bisa beranak 2 sampai empat. Kalau Laku yang besar sendiri, bisa buat beli motor matic. Namun saka guru kehidupan keluargaku telah dijual dan ditukar dengan ijasah sarjana, kebanggaan orang tua anaknya bisa strata 1. sebuah tantangan bagiku untuk mewujudkan cita cita jadi orang gedhe.

Sepekan pertama dirumah, rasa bangga orang tuaku mulai luntur. Genthong tempat beras sudah melompong. Pagi tadi emak sudah tidak sarapan dan siangnya pulang dalam kondisi muntah muntah. Emakku masuk angin. Seminggu lalu Emak menggadaikan TV untuk beli beras. dan sekarang beras itu sudah habis. Bapak pulang berlari lari membawa nasi bungkus. Emak memakannya dengan lahap. "Ki Mau Utang Karo Pak Modin Le" bisik Bapak sambil mengelus rambutku. Aku malu dengan kondisi seperti ini. Aku Harus merubahnya.

Ongkosku kembali ke Kampus kurang lebih butuh 140an ribu. Kuintip dompetku tinggal 24 ribu saja. Bapak dan emak sudah tidak mungkin punya uang lebih untuk aku minta. Pagi itu aku pamit keluar untuk mengunjungi temanku. Namanya Sapto. Sekarang Dagang Buah diujung Kampung. Dia temanku sebangku di SMA. "Oalah Kok Ngoyo temen Kang' dadi apa kowe?" ledek Sapto mengkritisi kondisiku sekarang. 4 Tahun lalu, dengan berapi api aku memang mengajak Sapto ke Kota untuk Kuliah. Ternyata aku yang tidak Tahu diri, karena tidak bisa mengukur kemampuan ekonomi orang tuaku, sementara temanku Sapto mampu melakukannya. Kondisi orang tua Sapto pada awalnya sama dengan orang tuaku, namun sekarang sudah jauh berbeda. Sapto sudah jadi juragan buah sekarang. dia punya 2 unit pick up. Punya 4 orang karyawan. Dan 2 bulan lalu barusan beli kebun. Sementara aku? Hanya punya selembar ijasah sarjana IP 2.95 yang nota bene belum menghasilkan apa apa dan ternyata aku harus balik ke Kota untuk melamar pekerjaan. "Ndik Kene ora Payu Kang Ijasahmu. Juragan Ndeso koyok aku ora butuh wong duwe ijasah sarjana. Ora kuat Mbayar. Kowe lak jaluk bayaran standar UMR ta?" cerocos Sapto sambil melayani pembeli buahnya.

 Kini aku sudah kembali di ujung kampung dimana dulu aku pernah kost. Banyak Yang menyapa aku, tapi tidak ada perbincangan sedikitpun dengan mereka. Hanya sekedar say hello and go. Mereka semua orang sibuk. "Waduh Mas wis ra onok nggone. wis kebak arek" jawab ibu Kostku ketika aku memohon hendak nunut menginap 2 sampai 3 hari ke depan. Tak ada 15 menit aku disitu dan harus segera melenggang pergi ke pusat informasi kampus. disana tersedia lowongan kerja. 

Ada sebuah papan besar dan berisi penuh lowongan. Namun tak satupun yang menerima Jurusan Guru PPKN ada disitu. Setengah tahun lalu memang ada lowongan, tapi aku belum wisuda. Terpaksa wisudaku tertunda satu semester karena aku tidak bisa bayar yudisium. Salahku sendiri, kenapa aku tidak bisa mengambil beasiswa bidik misi. Pemerintah sekarang sudah cukup baik menyediakan beasiswa. Namun aku sadar, capaian IP ku ternyata dibawa standar.

Dengan gontai aku keluar Kampus dan berteduh disebuah pos kosong tak jauh dari pintu keluar. Pos itu tak pernah dipakai dan kotor. Sejenak aku membersihkan ruangan sempit itu. Alhamdulillah, aku punya tempat berteduh. Tak lama kemudian hujan badai angin menerpa. aku mojok kedinginan. sehari ini aku belum makan. 

Setelah itu aku tidak ingat apa apa lagi. Pos kecil itu berdiri diatas got besar yang menampung air luapan dari dalam kampus. Aku tak pernah tahu jika pos itu sudah tidak difungsikan, karena pondasinya rapuh. Saat hujan barusan, karena kelaparan aku terlelap dalam tidur. aku tidak pernah tahu jika separuh pos itu runtuh dan menghanyutkan tas berisi ijasahku. Aku terbangun saat warga sekitar menarik tubuhku keluar dari dalam pos, karena air sebentar lagi meruntuhkan seluruh bangunan pos. Kucari cari tasku dan ternyata sudah hanyut. Hilang sudah harta emak bapakku di dalam ijasah itu.

Inilah kisahku. Makna yang bisa kupesankan pada semuanya adalah, jangan jadi beban Bagi orang tuamu jika kemampuanmu hanya setengah setengah dan ambilah jurusan yang punya prospek. Kuliah itu mahal, jika mampu carilah bea siswa. Pilihlah jurusan yang tepat, jangan ikut ikutan asal kuliah. Dan selama kuliah harus maksimal. Raih Prestasi Sarjana 4.0. Yang Kaya Prestasi, Kaya Wawasan dan bisa mengembangkan kemampuan mudamu. Banyak Organisasi di Kampus yang mampu menjadikan kamu Sarjana 4.0 plus. Jangan diartikan sarjana ditempuh empat tahun lebih, tapi hasilnya nol besar Plus setelah lulus tidak punya prospek.  Siapkah Meraihnya Gaes?

Malang, 20 Februari 2019

ditulis oleh Eko Irawan di Pos Runtuh Yang sekarang tak pernah ada 

                  

                 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun