Mohon tunggu...
Eko Wahyudi Antoro
Eko Wahyudi Antoro Mohon Tunggu... Konsultan statistik dan pendidikan

Konsultan, penulis dan pegiat lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masuk ke Sistem atau Menjaga Jarak: Refleksi Akademisi Desa

19 Mei 2025   11:25 Diperbarui: 19 Mei 2025   11:25 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Eko Wahyu Diantoro

"Kadang, berada di luar sistem membuat suara kita tidak didengar. Tapi berada di dalam sistem juga membuat nurani kita berisiko dibungkam."

Sebagai seorang akademisi yang tumbuh dan hidup di desa, saya tidak hanya mengamati dinamika pemerintahan desa dari kejauhan. Saya mengalaminya. Merasakan denyut persoalan dari dekat, bahkan menyaksikan sendiri bagaimana idealisme perlahan remuk oleh kepentingan pragmatis. Yang lebih menyakitkan lagi, ketika kita berusaha tetap tegak lurus, justru yang datang adalah penolakan, sinisme, bahkan fitnah keji.

Dilema Moral: Bertarung dari Dalam atau Bertahan dari Luar?

Saya tidak menutup mata bahwa sistem pemerintahan desa hari ini punya potensi besar untuk membawa kemajuan. Ada dana desa, program pemberdayaan, hingga peluang digitalisasi. Tetapi, tidak jarang potensi ini justru dibungkus oleh segel kepentingan segelintir elit lokal.

Pernah saya diajak untuk bergabung dalam struktur pemerintahan desa. Sebagian bilang, "Masuklah, biar bisa mengubah dari dalam." Tapi hati saya ragu. Bukan karena takut tantangan, melainkan karena saya tahu, sistem yang telah dikuasai oleh kompromi nilai seringkali memaksa orang jujur untuk memilih diam atau dikorbankan.

Saya sadar, masuk ke sistem bukan hanya soal jabatan. Itu tentang apakah saya siap melawan sistem yang mungkin tak ingin diperbaiki dari dalam. Dan jika saya tidak siap untuk ikut "main mata", mungkinkah saya hanya akan jadi boneka yang dibungkam?

Menjaga Jarak: Bukan Diam, Tapi Menjaga Waras

Saya tidak masuk bukan karena pengecut. Saya menjaga jarak bukan karena tak peduli. Justru dari luar saya merasa bisa lebih objektif, lebih bebas bersuara, dan lebih jernih melihat. Saya bisa terus menulis, meneliti, dan menyuarakan keresahan masyarakat tanpa harus dikebiri oleh loyalitas palsu.

Namun jalan ini pun tidak mulus. Dianggap pembangkang, dijadikan musuh bersama, bahkan difitnah sebagai penghasut. Ini risiko yang harus ditanggung ketika kita memilih jalan sunyi: tidak populer, tapi juga tidak hancur oleh kompromi.

Suara Akademisi Desa: Antara Ideal dan Real

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun