Oleh: Eko Wahyu Diantoro
"Koperasi adalah soko guru perekonomian, tapi jangan sampai jadi proyek yang dikerjakan serampangan dan berakhir sebagai bangkai administrasi."
Hari ini, saya diajak duduk bersama pemerintah desa untuk membahas pembentukan koperasi. Koperasi Merah Putih, katanya. Sebuah gagasan besar yang katanya akan mengangkat ekonomi desa, memberdayakan masyarakat, dan membawa kemandirian bangsa. Tentu, niatnya mulia. Tapi di balik niat mulia, ada satu hal yang sering kali terlupakan: kesiapan.
Sebagai warga desa yang hidup berdampingan dengan realitas, saya tahu satu hal: niat baik saja tidak cukup. Apalagi ketika kita bicara soal pemberdayaan masyarakat---yang SDM-nya belum merata, literasi hukumnya lemah, dan pengetahuan administratifnya pun pas-pasan.
Salah Kaprah yang Terulang
Kita sudah terlalu sering melihat skema "program pemerintah" yang diburu target, bukan dibangun dengan proses. Sosialisasi sekilas, pelatihan sekadarnya, lalu eksekusi buru-buru. Begitu diluncurkan, koperasi desa hanya tinggal papan nama. Pengurus bingung, masyarakat tak paham, dokumen tak lengkap, dan dana tak jelas arah.
Yang lebih miris, banyak pemerintah desa tak sadar mereka telah melangkah di zona abu-abu hukum. Sebab, koperasi seharusnya dibentuk oleh warga, bukan "dibentukkan" oleh pemerintah. Padahal pemdes sendiri masih belajar memahami regulasi. Lalu siapa yang menjaga agar koperasi ini tidak jadi jebakan hukum berjamaah?
Masyarakat Bukan Objek
Kita harus mengubah cara pandang. Masyarakat bukan objek proyek. Mereka adalah subjek pembangunan. Maka, mereka berhak untuk dipersiapkan, dilatih, diproteksi, dan diberdayakan dengan serius. Pemerintah jangan hanya kasih program, tapi bangun sistem dan mekanisme yang aman dan adaptif.
Langkah yang harus diambil bukan "launching koperasi", melainkan: