Oleh: Eko Wahyu Diantoro
Di tengah gegap gempita modernitas dan arus informasi yang tak pernah berhenti, saya semakin sering merasa gamang. Sebagai seorang konsultan pendidikan yang selama ini hidup dengan logika dan integritas, saya mulai merasa bahwa akal sehat sedang digeser oleh kegaduhan sosial yang tak menentu arahnya.
Zaman ini adalah zaman yang aneh: yang berniat menipu justru bisa hidup tenang, sementara yang jujur sering kali dituduh dan dipermalukan. Kebenaran kini seperti barang usang; tak lagi laku jika tak viral. Bahkan ketika seseorang terbukti tidak bersalah, siapa yang bisa menghapus jejak digital yang telanjur tercipta? Siapa yang mampu mengembalikan memori publik yang sudah menelan prasangka?
Dalam teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, realitas dibentuk melalui interaksi sosial dan bahasa. Artinya, apa yang dianggap "benar" hari ini seringkali bukan berdasarkan fakta, melainkan pada siapa yang lebih dulu dan lebih lantang berbicara. Maka tak heran, yang jujur bisa terlihat bersalah hanya karena kalah dalam pertarungan narasi.
Media sosial memperparah semuanya. Orang dengan mudah menuntut, melaporkan secara hukum, lalu memviralkan masalah tanpa pikir panjang. Padahal Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan:
"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim)
Sayangnya, diam hari ini justru dianggap bersalah. Klarifikasi dianggap pembelaan. Dan permintaan maaf dianggap pengakuan dosa, bukan sikap mulia.
Saya lelah. Tapi bukan berarti menyerah. Saya lelah karena terus-menerus harus menjelaskan hal yang seharusnya mudah dipahami: bahwa tidak semua diam itu salah, tidak semua tuduhan itu benar, dan tidak semua yang viral pantas dipercaya.
Sebagai pendidik, saya percaya pendidikan adalah jalan panjang menuju akal sehat. Tapi bagaimana bisa kita mendidik generasi berpikir jernih, jika kita sendiri begitu mudah terprovokasi dan menjadi hakim dadakan?
Tulisan ini saya hadirkan bukan sebagai keluhan, tetapi sebagai seruan nurani. Mari kita pelan-pelan kembalikan budaya berpikir sebelum berbicara, menyelidiki sebelum menghakimi, dan memahami sebelum menekan tombol "bagikan."
Jika kita tak mampu menghapus memori orang lain, setidaknya kita bisa memilih untuk tidak menambah luka orang yang tak bersalah.
Bagi siapa pun yang hari ini sedang berjuang menjaga akal dan nurani di tengah masyarakat yang liar dan bising, ketahuilah: Anda tidak sendirian.