Oleh: Eko Wahyu Diantoro
Dalam beberapa waktu terakhir, muncul keresahan publik mengenai kebijakan BPJS Kesehatan yang tidak menanggung biaya layanan pasien yang dikategorikan dalam triage hijau dan hitam. Di berbagai rumah sakit, terjadi penolakan klaim BPJS terhadap pasien yang dianggap tidak dalam kondisi gawat darurat, hanya karena pasien masih bisa berjalan atau tidak menunjukkan gejala kritis secara kasat mata. Padahal, dalam beberapa kasus, pasien mengalami nyeri hebat, penurunan kesadaran, atau kondisi serius lainnya yang tidak dapat diukur hanya dari tampilan luar.
Jika kita menelaah secara kritis, kebijakan klasifikasi triage seharusnya merupakan alat medis untuk menentukan prioritas penanganan, bukan pembatasan hak pembiayaan. Ketika triage digunakan sebagai dasar administratif oleh BPJS untuk menolak klaim, maka logika medis telah dikalahkan oleh logika fiskal. Hal ini sangat bertentangan dengan amanat Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menjamin hak atas pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis, bukan sekadar penilaian kasat mata.
BPJS, sebagai badan hukum publik, memiliki tanggung jawab ganda: menjamin hak rakyat sekaligus menjaga keberlanjutan sistem. Namun dalam praktiknya, pemangkasan pembiayaan lewat klasifikasi triage telah menimbulkan ketimpangan akses dan ketidakadilan. Pasien yang sebelumnya tertolong oleh sistem jaminan sosial, kini harus menanggung biaya pribadi hanya karena "terlihat masih sanggup berjalan". Apakah kita hendak mengukur rasa sakit dan derita manusia hanya dari tampilan fisiknya?
Secara teoritik, langkah ini bertentangan dengan nilai keadilan sosial dalam kebijakan publik. Dalam paradigma new public management, pelayanan publik seharusnya berorientasi pada hasil dan kepuasan publik, bukan semata efisiensi administratif. Dalam teori keadilan distributif, alokasi sumber daya publik---termasuk jaminan kesehatan---harus berdasarkan kebutuhan, bukan kemampuan menyesuaikan diri dengan sistem.
Dari sisi spiritual, prinsip-prinsip Qur'an dan hadist menegaskan pentingnya keadilan dan kasih sayang dalam pelayanan sosial. QS. An-Nahl:90 menyebutkan, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan...". Hadist Nabi SAW juga mengingatkan, "Barang siapa tidak menyayangi manusia, maka Allah tidak akan menyayanginya." Pelayanan BPJS seharusnya mencerminkan nilai-nilai tersebut, bukan menjadi sistem yang kaku dan tak berperasaan.
Maka dari itu, diperlukan reformasi regulasi dalam kebijakan pembiayaan BPJS, khususnya dalam penentuan layanan yang dijamin. Sistem triage harus dikembalikan pada fungsi klinisnya, bukan menjadi alat pembatasan klaim. Harus ada evaluasi menyeluruh yang melibatkan praktisi medis, etikawan, dan perwakilan pasien agar pelayanan kesehatan tidak sekadar legal, tetapi juga bermartabat dan manusiawi.
BPJS bukanlah sekadar sistem keuangan. Ia adalah janji negara atas hak konstitusional warga. Jangan biarkan janji ini dikubur oleh tabel triage dan rumus birokrasi yang kehilangan hati nurani.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI