Mohon tunggu...
Eko Widodo
Eko Widodo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Doktor olah raga lulusan Universitas Negeri Jakarta yang juga wartawan BOLA. Penggemar olah raga dengan berjuta idealisme memajukan olah raga Indonesia. Penyuka sepak bola, bulu tangkis, bola basket, cabang-cabang olimpik, sains olah raga, manajemen dan pemasaran olah raga. Komentator bola basket sejak 1995 sampai sekarang dan juga analis olah raga.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Risiko Olah Raga Pelajar Dianggap Tidak Penting

5 September 2013   18:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:18 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1378378376491977367

Siapa tak tergelitik oleh kartun opini yang dibuat kartunis Harian BOLA, Hanung Kuncoro, akhir Agustus lalu. Nunk, demikian sapaan akrabnya, membuat kartun peringkat Indonesia di Asian Youth Games kedua, yang baru berakhir di Nanjing, Cina. Di klasemen dengan klaster Asia Tenggara, kita berada di peringkat keenam. Janganlah membandingkan dengan Thailand sebab mereka berperingkat ketiga Asia. Dengan Singapura, Vietnam, Malaysia, dan Filipina pun kita kalah. Satu-satunya medali emas didapat dari kolam renang. Bulu tangkis? Masih zero medali emas. Apanya yang salah ya? [caption id="attachment_285974" align="aligncenter" width="422" caption="Karikatur Hanung Kuncoro tentang peringkat Indonesia di Asian Youth Games 2013, yang di bawah lima negara ASEAN lain."][/caption] Padahal, mekanisme alam masih melindungi olah raga Indonesia. Keluarga-keluarga yang mencintai olah raga dengan swadaya dan penuh kesadaran menanamkan kecintaan itu pada generasi penerusnya. Paling tidak, selain berharap sehat sehingga menekan biaya dokter yang kian mahal itu, mereka ingin mengenalkan tagline populer mens sana in corpore sano – dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat, sejak dini. Jiwa yang kuat, menurut sosiolog olah raga Ernest Cashmore dalam Sports Culture (2000), adalah modal berharga sebuah bangsa menjadi bangsa besar. Itu juga diakui Presiden Soekarno sampai Presiden SBY di perencanaan olah raga yang mereka buat dalam dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional sejak bangsa kita merdeka hingga sekarang. Dari beberapa literatur penelitian olah raga juga dikatakan bahwa sumber daya manusia sebuah bangsa ikut ditentukan oleh kualitas kebugaran masyarakatnya. Masyarakat, secara sadar, bergerak berolah raga. Apakah mereka tergerak program pemerintah? Rasanya tidak. Mereka bergerak karena ingin sehat. Sebab, kalau sakit itu, di republik yang sudah 68 tahun merdeka ini, biayanya mahal sekali. Mau bukti kalau mereka bergerak sendiri? Masyarakat melakukan olah raga rekreasi, kebanyakan. Entah bersepeda santai, jalan santai, joging. Olah raga prestasi? Wah, gak ada waktu sebab sibuk bekerja. Atau, jika sang anak merengek diantar ke tempat latihan olah raga, seringkali dijawab, "memangnya dari olah raga bisa hidup? Mending sekolah saja yang bener!" Padahal, kalau kita rajin jalan-jalan dan window shopping, hampir semua toko olah raga dipenuhi pengunjung. Raket bulu tangkis, shuttle cock, bola sepak, dan apparel sepak bola menjadi sasaran pembelian. Saya jadi ingat tulisan beberapa sosiolog Tanah Air tentang kecenderungan peniru di Tanah Air. Ya, masyarakat kita adalah peniru. Tren apa yang muncul di TV, itulah yang diikuti. Juga ketika film King dan Garuda di Dadaku diiklankan gencar, bioskop-bioskop pun padat, tak kalah dengan film Transformer 2, saat itu. Ada analogi horisontal dari kedua hal itu. Masyarakat Indonesia ternyata rindu pada contoh bermutu dari olah raga. Mereka (masih) punya asa terhadap olah raga. Ketika Indonesia mendapatkan dua gelar juara di Kejuaraan Dunia bulu tangkis menjelang ulang tahun kemerdekaan Indonesia, sambutan pun datang luar biasa. Atlet pemenang sampai diarak keliling Jakarta. “Succesfull people have certain common mental characteristics that help them to be successful in any area of endeavour.” Itulah kalimat pertama di buku The Winner’s Mind yang dikarang Allen Fox, Ph.D., yang mengilhami saya menulis note di facebook berjudul ‘The Mind of the Habitual Winner – Cerita di Balik Layar Mental Pemenang Kobe Bryant.’ Orang-orang yang sukses di berbagai area penjelajahan pasti memiliki karakteristik mental baja. Menciptakan mental pemenang dalam olah raga itu tak bisa instan. Harus dilakukan secara berkelanjutan sejak dini usia. Perjalanan olah ragawan yang sukses bisa dijadikan teladan pembanding. Program-program olah raga instruksional yang bermutu di televisi harus semakin digalakkan jika ingin fanatisme pada olah raga menyamai kegemaran masyarakat pada tayangan sinetron. Pendanaan Adil Ketika mendengar Indonesia kekurangan atlet dalam Asian Youth Games 2009 di Singapura, serta kegagalan berprestasi di Nanjing 2013, itu jelas sebuah keanehan. Selalu digembar-gemborkan bahwa modal jumlah penduduk adalah potensi besar bangsa Indonesia bersaing dengan negara lain, namun menemukan 50 atlet selevel SMP-SMA saja sangat sulit. Mestinya, itu salah satu topik kampanye di sektor olah raga dari calon-calon presiden yang menarik. Dana untuk pendidikan yang sudah memenuhi 20% dari APBN sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945, semestinya ada yang dialokasikan lebih untuk pembinaan olah raga pelajar. Saya garis bawahi ‘pembinaan’ bukan ‘hasil’ dalam bentuk kompetisi, kejuaraan, atau program-program instan lainnya. Faktanya yang dikejar oleh para pejabat berwenang adalah “saya sudah membuat kegiatan olah raga di periode jabatan, masa bodoh dengan proses pembinaannya”. Miing Bagito, ketika masih aktif di DPR, mengatakan bahwa anggaran olah raga untuk fungsi pendidikan di atas Rp 1 triliun, yang disisipkan di anggaran Kemenpora. Kemanakah larinya? Sebab, tetap saja olah raga di level pelajar selalu mengeluhkan dana yang kurang. Ketidakseriusan mengembangkan sports school sudah menjadi lagu lama. Ketika sekolah olah raga Ragunan kehilangan pamor, olah raga pelajar pun kena imbas. Olah raga di kalangan pelajar menurut saya tak ditangani secara serius, tercermin dari jumlah jam pendidikan jasmani (penjas) yang pas-pasan, minim kompetisi, kompetensi guru penjas, dan follow up. Memang ada PPLP (Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pelajar) dan PPLM (Pusat Pendidikan dan Pelatihan Mahasiswa), tapi sejauh mana efektivitasnya? Pelajar yang ingin memperdalam olah raga kebanyakan atas inisiatif sendiri bergabung dengan klub-klub olah raga dan tentunya keluar biaya ekstra dari para orang tua! Untuk olah raga permainan seperti sepak bola, bola basket, dll klub-klub tak terlalu bermasalah. Namun, bagaimana dengan cabang olimpik seperti atletik, renang, panahan, balap sepeda, dll? Medali terbanyak di multi event itu di cabang-cabang itu. Belum lagi fasilitas olah raga di sekolah-sekolah yang kebanyakan di bawah standar. Perlu difahami juga bahwa olah raga itu tak hanya sepak bola, lho! Kalau Depdiknas bisa menggelar Sepak Bola Liga Pendidikan Indonesia, tentunya cabang-cabang lain juga berhak mendapatkan perlakuan sama. Janganlah salah kaprah dengan tren tidak tepat di sepak bola nasional (Liga Super) yang menanamkan dana APBD untuk ‘anak emas’ bernama sepak bola. Padahal, olah raga lain juga perlu suntikan dana untuk mengembangkan diri. Lagian, sepak bola Liga Super kan sudah mengaku profesional, dimana definisi profesional salah satunya adalah mampu mengurus diri sendiri, termasuk membiayai elemen kompetisi secara mandiri. Jadi, semestinya penggunaan dana negara tidak semestinya dilakukan. Dalam buku-buku manajemen olahraga maupun pemasaran olah raga, liga profesional itu mendapatkan uang dari penjualan tiket, hak tayang TV, penjualan merchandise, bukan dari suntikan pemerintah daerah! NBA di basket atau Liga Inggris di sepak bola, tak ada tuh mendapatkan dana dari pemerintah federal atau dari kerajaan Inggris! Jadi, dana hibah dari APBD mestinya disalurkan ke olah raga belum profesional/amatir yang berpotensi memberikan kontribusi prestasi untuk daerah atau nasional di ajang multi event internasional. Sebab, ketika olah raga non sepak bola di daerah-daerah berdenyut karena dikucurkannya dana pembinaan, niscaya getarannya akan terasa di level nasional. Dibarengi dengan perubahan kebijakan menggerakkan lagi olah raga di level pelajar secara simultan dan tepat – tidak sekadar ada – maka keluhan minimnya bibit di level pelajar akan diatasi. Regenerasi atlet berjalan, prestasi masa depan pun dijamin aman. Tidakkah kita ngeri dengan potensi atlet di kalangan pelajar Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam yang terus menerus membenahi diri? Bisnis pariwisata kita sudah tertinggal, manajemen tata kota amburadul (syukurlah ada pelopor perubahan Jokowi-Ahok di DKI), korupsi (masih) di sana sini, kompetensi pendidikan dipertanyakan, apakah akan dibiarkan olah raga juga kalah? Untunglah alam masih melindungi Indonesia dengan menciptakan masyarakat yang peduli pada olah raga, namun, sampai kapan? Jika mereka sampai patah arang, itulah pertanda kematian permanen dari alat pembuat generasi sehat. Semoga ini menjadi renungan di peringatan Hari Olah Raga Nasional, 9 September ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun