Mohon tunggu...
Eko N Thomas Marbun
Eko N Thomas Marbun Mohon Tunggu... Penulis - I Kerani di Medan Merdeka Utara I

Tertarik pada sepak bola, politik dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Soal Disabilitas, Kita Berdosa Sejak dari Pikiran

10 Desember 2021   11:36 Diperbarui: 10 Desember 2021   12:23 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:spa-pabk.kemenpppa.go.id

Saya masih ingat, suatu waktu, kakek mengajak saya ke desa tetangga yang jarak sekitar 2 jam ditempuh jalan kaki. Kami menghadiri acara pemakaman salah satu tokoh masyarakat. Itu sekitar 20 tahun yang lalu.

Sembari menunggu kakek yang menjalankan acara adat. Saya jalan-jalan sendiri di sekitar tempat acara. Mata saya tertuju ke satu rumah kecil, semacam pondok/gubuk kecil. Posisinya yang mencolok karena berada di antara rumah-rumah tinggal warga.

Saya mendekat. Rasa ingin tahu membuat saya nekat mencoba mengintip apa yang ada di dalamnya. Saya benar-benar terkejut sebab di dalam ada manusia yang kakinya dirantai ke balok kayu. Itulah pertama kali aku melihat orang dipasung! Saya langsung shock memilih meninggal tempat itu.

Sepanjang perjalanan pulang saya bertanya terus menerus. Saya akhirnya tahu bahwa dia dipasung karena "kurang sehat". Sulit diajak berkomunikasi dan kalau dilepas dia pergi lalu lupa pulang. Cara itu dilakukan untuk mengamankan dia yang kurang sehat. Mengerikan tapi masuk akal!

Disabilitas memang sudah dari dulu ada. Baik terkait keterbatasan fisik, intelektual, mental dan sensorik. Namun, lingkungan yang menganggap dirinya normal/sehat cenderung menganggap disabiltas sebagai kekurangan dan beban. Alih-alih membangun lingkungan yang ramah teman disabilitas, lingkungan jutru mengamankan/menyembunyikan mereka.

Ada yang lebih rusak dari itu. Banyak dari manusia yang menganggap dirinya normal tapi jiwanya sakit. Kawan disabilitas seringkali menghadapi kekerasan fisik dan mental. Kita bisa dengan mudah menemukan pemberitaan di internet kawan disabilitas dirisak, dipermalukan, dipukuli sampai diperkosa. Coba, kira-kira waraskah yang melakukannya? 

Mari kita lihat lingkungan di sekitar kita. Coba lihat cara kita mendesain layanan publik. Ramahkah terhadap mereka? Fasilitas publik seperti trotoar dan jembatan penyeberangan misalnya, ada berapa meter sih yang ramah terhadap teman disabilitas yang terbatas secara fisik?

Layanan dan fasilitas publik kita memang kita desain untuk orang normal dan itu yang normal menurut alam pemikiran kita! Secara tidak langsung memang sudah dari sananya kita berniat memasung teman disabilitas.

Cara yang dilakukan masyarakat (dengan memasung) di desa tetangga saya mungkin cara yang ekstrim. Tapi, secara tidak langsung paradigma pembangunan kita juga melakukannya. Lingkungan yang tidak ramah terhadap teman disabilitas adalah bentuk pemasungan. Kita membangun semuanya untuk orang normal dalam versi kita yang menganggap diri normal. Itu yang salah!

Indonesia sendiri memiliki undang-undang tentang penyandang disabilitas tujuannya memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada teman disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat. Tapi, rasa-rasanya cita-cita mulia masih jauh panggan dari api.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun