Mohon tunggu...
Eko N Thomas Marbun
Eko N Thomas Marbun Mohon Tunggu... Penulis - I Kerani di Medan Merdeka Utara I

Tertarik pada sepak bola, politik dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Saya Pernah Punya Geng, Lalu Saya Belajar Apa?

30 April 2021   01:51 Diperbarui: 30 April 2021   02:01 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Geng itu ada 'soul' pemberontaknya. Kesannya bukan anak manis (sumber gambar:megapolitan.kompas.com)

Saya ingat betul di hari Selasa, sekitar 14 tahun lalu. Jam pelajaran I dan II adalah Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Olahraga) sementara Jam pelajaran III dan IV adalah Kerajinan Tangan dan Kesenian (KTK). Nah, disela-sela jam pelajaran III dan IV ada waktu istirahat.

Tabiat buruk anak-anak yang baru gede' sering kebablasan. Kami biasanya kebablasan menghabiskan jam pelajaran III. Lalu, baru masuk di jam IV. Ketika masuk pelajaran ke IV biasanya kondisi anak-anak sudah keletihan. Bawaannya ngantuk.

Ketika itu, guru kesenian kami galak. Omongannya sedikit keras. Itu dalam kondisi normal. Jadi, bisa dibayangkan betapa marahnya dia ketika setengah dari jam pelajarannya dihabiskan bermain bola. Lalu, yang dihadapi anak-anak yang sudah malas dan ngantuk karena capek. Pasti bawaannya juga jutek.

Suatu ketika dia kelepasan bicara. Dia bilang kami murid-murid kayak orang ngegelek (mengisap ganja). Kelihatan blo'on dan planga-plongo.

Saya sebagai yang suarannya didengar kalau tidak bisa disebut ketua geng karena tidak pernah dipilih, langsung mengumpulkan anak-anak. Kami bersepakat untuk mengosongkan kelas ibu itu. Caranya, sebelum dia masuk kelas, pintu sengaja ditutup. Lalu, semua anak meloncat jendela dan memanjati pagar sekolah. Kami kabur dari sekolah. Berontak

Ada anak yang menghabiskan makan mie rebuh di warung gantung. Ada yang sekedar duduk-duduk di tanah lapang. Ada pula yang sampai jalan-jalan ke air terjun yang jaraknya lumayan jauh dari sekolah. Apalagi ditembuh jalan kaki.

Sekolah hari itu geger. Ada pemberontakan. Tidak peduli siapa yang pimpin. Saya ingat waktu itu sampai guru sosiologi menjumpai kami dan meminta kami kembali ke sekolah. Kepala sekolah sangat marah waktu itu. Tapi, kami ngotot melawan. Eh, kepala sekolah mengalah. Kami disuruh kembali dan tidak dihukum.

Di lain waktu, kami pernah berkelahi dengan adik kelas yang badannya besar dan tinggi. Hal penyebabnya remeh saja. Dia melakukan smas tepat di wajah anggota geng kami (kakak kelasnya) yang kebetulan berbadan kecil. Bukannya minta maaf, eh, malah ketawa terbahak-bahak. Anak-anak yang lain pun turut mengetawai.

Salah satu penyakit anak-anak yang ikut geng-gengan adalah solidaritasnya. Kira-kira korsa gitulah. Begitu, bel tanda pulang selesai. Adik kelas tadi diratakan atau dikeroyok, sampai bonyok. Solidaritas anak-anak yang belum dewasa itu memang cenderung kesannya nakal.

Itu adalah tindakan-tindakan nakal yang kami lakukan sewaktu sekolah di dalam sekolah sendiri. Kalau dihadapkan dengan sekolah lain, ya, tawuran. Saya dapat memastikan bahwa dimana-mana tawuran itu pasti ulah sekelompok anak yang punya jiwa pemberontak. Ingin eksis. Lalu, simpatisan yang ikut-ikutan. Begitu-begitu saja terus. Saling serang, dendam dan serang lagi.

Geng itu konotasinya 'sudah' negatif. Jadi begitu ada sekumpulan anak merasa diri eksklusif sebaiknya guru harus mulai memberikan perhatian. Jangan sampai mereka tumbuh menjadi anak-anak yang memberontak. Ujung-ujungnya sekolah yang repot. Tidak harus melarang tapi mereka harus tetap dibawah kendali orang dewasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun