Mohon tunggu...
Eko N Thomas Marbun
Eko N Thomas Marbun Mohon Tunggu... Penulis - I Kerani di Medan Merdeka Utara I

Tertarik pada sepak bola, politik dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Nostalgia Ramadhan di Tanah Batak

19 April 2021   22:28 Diperbarui: 19 April 2021   23:06 1088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: stock.adobe.com

Tidak kurang dari 18 Tahun saya menghabiskan waktu di Tanah Batak. 6 Tahun di Tarutung, Pusat HKBP, gereja etnis yang mungkin terbesar di dunia. Sisanya 12 tahun di Kabupaten Toba Samosir, yang sekarang sudah menjadi Kabupaten Toba.

Tempat-tempat yang pernah saya tinggali selalu ada beberapa keluarga penganut Agama Islam. Memasuki Bulan Ramadhan seperti saat ini, sekilas semua biasa-biasa saja. Warung-warung tetap buka, tidak perlu dipasang tirai. Kalau puasa jangan masuk. Itu saja.

Nah, kalau sore hari, biasanya menjelang berbuka bagi yang sedang berpuasa akan terdengar bunyi lonceng gereja bertalu-talu, bersahut-sahutan dengan suara azan. Itu adalah pertanda untuk pulang ke rumah bagi yang sibuk di ladang. Sekaligus peluit panjang pertanda berakhirnya pertandingan bagi anak-anak yang sedang bermain bola.

Nah, di Bulan Ramadhan seperti saat ini. Ada banyak hal-hal unik yang selalu menarik untuk dikenang kembali.

Omongan "Saudara" Yang Ganas

Kalau akhir-akhir ini banyak pro dan kontra soal penutupan warung-warung tempat makan atau setidaknya memasang tirai. Di kampungku, kalau kamu seorang muslim atau muslimah, di saat-saat ramadhan akan menjadi pusat perhatian. Orang-orang tahunya kamu berpuasa. Begitu masuk warung semua mata akan tertuju padamu.

Pertanyaan pertama yang akan ditanya, dang puasa huroa ho? (apakah kamu tidak puasa?) Mau bapak-ibumu mengizinkan kamu tidak puasa. Besoknya ya satu kampung tahu kalau kamu tidak puasa kalau nekat. Meskipun sebenarnya itu bukan urusan mereka, ya, itu bisa jadi ejekan untukmu.

Nah, sebelum berurusan terlalu jauh dengan omongan sekampung. Peringatan pertama jangan nekat makan di keramaian. Kedua, kalau pun berhalangan usahakan tidak terlalu mencolok karena ketidaktahuan bisa jadi omongan. Ketiga, kalau masih kuat tetaplah berpuasa.

Enaknya berpuasa di kampung itu, ya, begitu. Orang-orang tua (dewasa) tanpa memandang apa agamanya. Turut serta aja mengawasi. Curiga kalau si anak ngaku sama orang tua puasa, eh, tahunya tidak. Di kampung itu, kekerabatan mungkin berpengaruh. Sebab sama orang batak selalu saja bisa ditarik garis yang membuat semua orang jadi saudaramu. Hehehe.

Pelindung-Pelindung Dadakan

Saya pikir sudah menjadi ciri khas desa-desa di tanah batak untuk toleran. Orang-orang cenderung tidak terlalu memusingkan agama orang lain. Selama masih mengikuti adat istiadat dan tidak mengganggu agama lain. Rasanya tidak akan ada riak-riak perselisihan.

Menariknya bagi kebanyakan orang kampungku yang tidak berpuasa, orang yang berpuasa itu tentu tantangannya berat. Mengingat biasanya makan 3 kali sehari dengan nasi menggunung. Tiba-tiba, hanya makan sebelum matahari terbit lalu baru makan lagi setelah matahari terbenam. Jadi, ada rasa simpati.

Efeknya di sekolah pelajaran olahraga tidak lagi favorit. Meskipun yang puasa hanya satu orang, yang lain ikutan saja menemani. Kami biasanya mengisi jam olahraga dengan mengerubungi yang berpuasa ha...ha....ha...kadang ada saja yang iseng kalau lagi puasa bisa manggil hujan enggak?

Dulu waktu masih lugu-lugunya, saya punya teman bernama Radikyn, sekarang sudah jadi fotografer hebat. Waktu SD, dia ini gesit bermain bola dan cocok jadi striker. Nah, ketika dia berpuasa dia tidak boleh ikutan. Takut dia lecet-lecet atau terluka yang membuat puasanya batal. Maklum setahu kami, ya, kalau berdarah batal. Paling banter dia jadi kiper berdiri diantara sandal yang dijadikan tiang.

Pernah juga dia tidak sedang puasa, di dalam tasnya ada makanan. Anak-anak langsung ngomel-ngomel, dosa kamu. Eh, sejurus telur dadar dan nasi yang ada di dalam tasnya diambil alih (dimakan) rame-rame. Itu mungkin kelas 5 atau 6 SD.

Akhirnya, Puncak Ramadhan Itu Dirayakan Bersama

Biasa di puncak Bulan Ramadhan, saat lebaran tiba. Anak-anak yang beragama Kristen sudah bersiap dengan baju bagus dan kantong plastik. Nanti tanpa dikomando sehabis Sholat Ied kami akan berlomba-lomba menuju rumah warga yang muslim.

Rumah-rumah akan membuka pintunya bagi anak-anak. Aku masih ingat waktu itu 2 guru kami merayakan Idul Fitri plus teman-teman. Tanpa ragu-ragu kami berlarian masuk ke dalam rumah yang sudah serasa rumah sendiri. Kue-kue kering yang disediakan dimasukkan ke dalam kantong yang dibawa tadi.

Kadang ada tuan rumah yang royal. Kalau ada anak yang berani menyanyi disawer. Tapi, aku sendiri tidak bisa menyanyi karena tidak semua orang batak bisa bernyanyi.

Setelah berkeliling di rumah warga, menjelang sore hari kami akan pulang. Masing-masing kantong kuenya sudah penuh. Beberapa anak yang berbakat menyanyi mendapat bonus beberapa ratus rupiah. Aku sendiri biasa sudah cukuplah dengan kue-kue kering.

Begitulah kami menjalani Bulan Ramadhan. Anak-anak itu sekarang sudah tumbuh dewasa. Semoga mereka juga membagikan pengalaman indah ini ke anak-anak mereka. Agar kelak Kebinekaan Indonesia tetap terjaga dan Indonesia utuh selamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun