Mohon tunggu...
Ekky AbiWibowo
Ekky AbiWibowo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sociology, Coffee, and Movie

Hai, saya Ekky! Saya seorang yang perhatian dengan berbagai bentuk fenomena sosial, melihat keunikannya, dan memperhatikan detil-detil kecil untuk menjadi bahan analisis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Spiritualitas atau Sekadar Hasrat Duniawi? Fenomena Halal Consumption dalam Pandangan Teori Pilihan Rasional

5 Desember 2022   09:00 Diperbarui: 5 Desember 2022   09:02 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gairah keberagamaan masyarakat muslim di Indonesia terus meningkat setelah orde baru. Gairah ini ditunjukkan dengan semangat kembali pada nilai-nilai agama untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam perilaku ekonomi mereka. Hal tersebut kemudian terlihat menjadi suatu fenomena yang disebut sebagai Halal Consumption. Segala bentuk perilaku ekonominya selalu tercermin sisi spiritualitasnya.

Spiritualitas sendiri adalah hal-hal yang berkaitan dengan sesuatu yang ada di luar jangkauan manusia dan bersifat adikodrati. Dalam hal ini adalah nilai-nilai Islam yang berkaitan dengan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Hal tersebut kemudian terinternalisasi melalui konsep pahala dan dosa yang menjadi landasan norma bagi para penganutnya.

Menariknya adalah walaupun menunjukkan spiritualitas, corak keberagamaan masyarakat muslim di Indonesia tidak menolak adanya modernitas. Adanya modernitas justru semakin membuka ruang negosiasi untuk berimprovisasi dalam menampilkan coraknya yang unik. Di samping itu, relasi antara Islam itu sendiri dengan keberadaan aktor kapitalis yang mengkomodifikasi produk-produk berlabel halal bukanlah suatu hal yang berlawanan, melainkan saling melengkapi.

Maka dari itu, Halal Consumption terlihat dari seorang muslim yang gemar mengkonsumsi makanan modern dengan harga relatif lebih mahal seperti sushi namun tentunya dengan label halal atau makanan di restoran arab, mengenakan baju gamis dengan hijab yang syar’i namun tetap modis, dan menggunakan parfum yang tidak mengandung alcohol. Tetapi, fenomena mengkonsumsi produk-produk halal belakangan ini menjadi sesuatu yang berlebihan.

Hal tersebut nampaknya dapat berbenturan dengan semangat awal tentang beragama yaitu bagaiamana seseorang dapat lebih dekat dengan Tuhannya. Islam sendiri menekankan tentang hidup sederhana bagi para penganutnya. Dalam nilai yang lainnya, sebagian harta lebih baik disalurkan kepada yang lebih membutuhkan.

Piliang (2012) di dalam bukunya yang berjudul Post Realitas menjelaskan bahwa sifat konsumtif yang berlebihan di era modernisasi dapat mengakibatkan pergeseran aspek spiritualitas dari gairah patuh kepada Tuhan menjadi sebatas pemenuhan keinginan duniawi yang seolah bersifat spiritual. Pada akhirnya semangat beragama di awal hanya merupakan syarat untuk berprilaku yang mengarah pada hedonisme.

Dalam imajinasi sosiologi sendiri, fenomena tersebut dapat kita lihat melalui perspektif teori pilihan rasional. James S. Coleman yang mengkonstruksi teori pilihan rasional melihat bahwa fenomena sosial yang sifatnya makro sebagai suatu yang harus difokuskan dalam ranah individu. Aktor memiliki tujuan dan maksud dalam tindakannya yang tertuju pada upaya untuk mencapai suatu keuntungan. 

Aktor pun dipandang mempunyai pilihan atau nilai, keperluan, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihannya. Teori pilihan rasional Coleman ini dalam gagasan dasarnya menjelaskan bahwa tindakan perseorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan tersebut adalah tindakan yang ditentukan oleh nilai atau preferensi (pilihan)

Menurut perspektif tersebut, aktor memilih suatu tindakan ekonomi didasarkan pada nilai yang diinternalisasi kepadanya yaitu nilai agama. Namun, perlu dilihat juga apakah preferensinya itu sendiri dapat mendorong perilaku konsumtifnya masuk ke dalam tujuan akhirnya yaitu semangat patuh pada ajaran agama secara keseluruhan.

Jadi, seorang muslim memang bisa saja terlihat memiliki semangat beragama namun memiliki perilaku konsumtif yang tinggi. Hal ini dikarenakan nilai-nilai agama yang membawa pengaruh pada kehidupan ekonominya hanya sebatas melihat mana yang halal dan yang tidak. Tanpa mempertimbangkan tujuan akhirnya. Bila tujuannya hanya untuk memenuhi keinginan tubuhnya, maka hal tersebut bukan cerminan spiritualitas walaupun dalam perilaku konsumtifnya seorang muslim tersebut mempertimbangkan nilai agama.

Terakhir, menurut saya memang perlu dikaji lebih dalam perihal fenomena Halal Consumption ini agar kita dapat melihat bahwa semangat beragama muslim di Indonesia belum tentu sesuai dengan aspek spiritualitas yang sesungguhnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun