Mohon tunggu...
Eki Tisna Amijaya
Eki Tisna Amijaya Mohon Tunggu... Bankir - ex-Policy Maker

I am a futurist and strategist

Selanjutnya

Tutup

Financial

SSK Bank Indonesia Menangkis Dampak Sistemik Proyek Tol Trans Jawa

9 Juni 2019   12:48 Diperbarui: 9 Juni 2019   19:46 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.liputan6.com 

Jalan darat mulus antara Jakarta dan Semarang menjadi kesenangan mudik yang unik tahun ini. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, ketika tol Trans Jawa terbangun tetapi belum fungsional tersambung, jarak yang sama mesti ditempuh pemudik dalam waktu 15 jam. Nah, tahun ini para pengendara dimanjakan oleh waktu tempuh yang semakin pendek yaitu dengan 5 jam saja, hampir sepertiga kali lebih singkat. Bayangkan betapa banyaknya penderitaan pemudik yang hilang: cerita drama wanita dan anak-anak, masalah kesehatan dan kelelahan, tingginya ongkos perjalanan, belum lagi perasaan stress. Kesemuanya menjadi cerita masa lalu berkat pembangunan Proyek Tol Trans Jawa.

Terlepas dari manfaatnya yang luar biasa seperti cerita di atas, tidakkah para pemudik tersebut menyadari bahwa percepatan pembangunan infrastruktur yang digagas Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) adalah proyek yang berisiko dan, menurut penjelasan Bank Indonesia melalui Kajian Stabiltas Keuangan edisi Maret 2019, dapat berdampak sistemik terhadap keuangan Indonesia.

Jalan Panjang Proyek Tol Trans Jawa

Tidak banyak publik yang tahu bahwa Tol Trans Jawa adalah bagian dari rute Asian Highway 2 yang terbentang dari Denpasar, Indonesia ke Khosravi, Iran. Secara proporsional, tol Trans Jawa sendiri menghubungkan pelabuhan Merak di ujung barat dengan Banyuwangi di timur dengan total bentangan 760 Km. Tol ini dikerjakan bergotong royong oleh BUMN seperti Waskita Karya dan Jasa Marga sebagai ujung tombak dan beberapa Bank BUMN plus swasta nasional yang siap menyuplai kredit sindikasi untuk pembiayaan pembangunan. Karena sifatnya investasi, pembiayaan proyek Tol Trans Jawa sejak semula bertujuan komersial, bukan jenis sekali lunas yang dibayar oleh dana APBN.

Berbicara tentang sumber pembiayaan, pembangunan infrastruktur strategis seperti tol Trans Jawa pastilah memerlukan dana yang sangat besar. Sumber dana tersebut ternyata bukan dari hutang luar negeri seperti yang dipersepsikan oleh sebagian masyarakat, melainkan berasal dari kredit sindikasi bank-bank BUMN yang tergabung dalam HIMBARA (Himpunan Bank Negara) dan beberapa bank swasta nasional. Sebagai contoh BNI yang mempunyai portfolio kredit sindikasi sebesar 14% dan Bank Mandiri yang mencapai 36%. Sekali pukul, biasanya dana yang dapat ditarik oleh badan usaha penyedia infrastruktur seperta Wijaya Karya dapat mencapai Rp 3 -- 5 Triliun. Dana kredit ini secara umum digunakan untuk 2 hal yaitu dana talangan dan dana investasi.

Jika sifatnya dana talangan, maka uang biasanya akan dikucurkan untuk pembebasan lahan dan peran pemerintah dominan dalam hal ini karena begitu aksi pembebasan selesai maka kredit pun tidak lama dilunasi oleh pemerintah. Untuk kemungkinan kedua yaitu investasi, maka sumber pelunasan kredit adalah pemasukan dari jalan tol sendiri yang sifatnya jangka panjang. Nah, untuk tipe kedua maka terdapat risiko kredit yang lebih besar dari sekedar dana talangan karena jangka waktu pengembalian dana yang lebih panjang. Urgensinya pun bergeser menjadi komersialisasi barang dan jasa dengan profit yang meningkat bertahap di masa depan.

Di sinilah terletak peluang dampak sistemik keuangan yang justru bukan disebabkan oleh lembaga keuangan melainkan tergantung kapabilitas dari badan usaha BUMN penyediaan infrastruktur (KPBU) itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri bahwa memang terdapat peluang wanprestasi, walaupun kecil, yang terwariskan secara alami dari aksi korporasi seperti yang dilakukan BUMN dalam proyek infrastruktur Tol Trans Jawa.

Risiko Sistemik Keuangan oleh Lembaga Non Keuangan

Jika memang ada risiko sistemik keuangan secara nasional, lalu mengapa bank-bank justru berlomba-lomba untuk tetap percaya pada keberlangsungan proyek dan menjadikannya sebagai ujung tombak pengembangan bisnis selama kurun waktu 2015-2018? Ada banyak pemanis yang kita bisa temui dari kebijakan strategis Presiden Joko Widodo ini.

Alasan pertama adalah bahwa setiap proyek infrastruktur dari Kementerian PUPR diasuransikan pada PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), sebuah BUMN asuransi keuangan yang menggaransi proyek pemerintah baik pusat ataupun daerah dari risiko politik atau perubahan penguasa politik yang diakibatkan pemilihan umum. Dengan adanya penjaminan ini, maka investor mendapatkan kelegaan dalam berusaha sekaligus kepastian bahwa proyek infrastruktur yang dikerjakannya tidak akan berubah karena ketidakstabilan politik.

Kehadiran PII mempunyai tujuan mulia untuk mendorong masuknya pendanaan dari swasta ke dalam sektor infrastruktur di Indonesia melalui peningkatan kelayakan kredit (creditwhortiness) proyek KPBU yang dapat berdampak pada penurunan cost of fund dari proyek -- proyek tersebut. Namun, yang perlu diingat bahwa PII adalah lembaga asuransi dengan portolio seragam yang juga terpapar risiko keuangan. Itu berarti, jika banyaknya portfolio proyek infrastruktur yang wanprestasi terjadi hampir bersamaan maka bisa dipastikan PII pun akan kesulitan untuk menjamin ganti rugi kepada beneficiary.

Yang kedua masih seputar wanprestasi yaitu risiko operasional seperti sederatan kecelakaan kerja yang terjadi sepanjang tahun 2017 dan 2018. Selama tahun 2017, terdapat tujuh kecelakaan kerja yang terjadi pada Girder dan Crane dengan kontraktor didominasi oleh Waskita Karya. Puncaknya tahun 2018 ketika terjadi insiden ambruknya penyangga tiang di proyek Tol Bekasi Cawang Kampung Melayu (Becakayu) Jakarta Timur.

Tak berhenti sampai disitu, peristiwa ini didahului oleh insiden lainnya seperti jatuhnya beton girder proyek LRT di jalan Kayu Raya Pulo Gadung, dan robohnya crane pengangkut beton proyek DDT di Matraman Raya Jakarta, keduanya dikerjakan oleh Waskita Karya. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, risiko operasional akan meningkat seiring masifnya frekuensi proyek yang dikerjakan serta terbatasnya waktu yang membuat perusahaan terkesan "kejar setoran". Jika hal ini dibiarkan berlarut, maka publik akan kehilangan kepercayaan terhadap kualitas hasil infrastruktur dan pada masa depan komersial dari proyek investasi tersebut. Hal ini akan sangat berbahaya sebab pengembalian hutang Bank akan sangat tergantung pada cashflow proyek infrastruktur. Macet nya kredit sindikasi yang jumlahnya raksasa akan menjadi mimpi buruk sistemik keuangan nasional.

Stabilitas Sistem Keuangan dan Kebijakan Makroprudensial

Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dan Kebijakan Makroprudensial adalah dua hal yang menjadi senjata andalan Bank Indonesia dalam mengatasi kemungkinan dampak sistemik baik yang disebabkan oleh lembaga finansial atau non finansial. Sebelum masuk kepada peranan SSK dalam menangkis dampak sistemik proyek infrastruktur, mari kita ingat rumus sederhana berikut: 

PRUDEN.

Dua huruf pertama, PR, adalah jawaban dari apa itu SSK yaitu aspek (P)ertahanan terhadap ke(R)entanan. Artinya SSK adalah suatu kondisi yang memungkinkan sistem keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap kerentanan internal dan eksternal.

Satu huruf berikutnya yaitu U mengakar dari kata t(U)mbuh, sekaligus jawaban mengapa SSK diperlukan. SSK berperan dalam menciptakan kondisi keuangan nasional yang nantinya berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian negara. Stabilitas Sistem Keuangan juga bertindak sebagai obat yang saripatinya berasal dari pelajaran-pelajaran penting krisis-krisis keuangan yang pernah melumpuhkan keuangan Indonesia ataupun global.

Huruf ke-empat yaitu D&E merepresentasikan perio(DE), jawaban dari bagaimana SSK diimplementasikan. Salah satu penerapan dari SSK adalah kebijakan Countercyclical Capital Buffer yaitu tambahan modal yang befungsi sebagai penyangga untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit dan/atau pembiayaan perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilits sistem keuangan. Hal ini berarti, dalam periode dimana kredit tumbuh pesat, justru bank diminta meningkatkan dana pasif untuk antisipasi risiko kredit yang mungkin muncul. Beberapa kebijakan populer yang terkait adalah kenaikan Batas Minimum Pemberian Kredit (BMPK) untuk bank sebagai respon pertumbuhan kredit korporasi dan perubahan Loan to Value (LTV) rasio untuk kredit retail seperti KPR.

Huruf terakhir yaitu N adalah untuk makroprude(N)sial. Kebijakan makroprduensial bertujuan untuk memelihara SSK secara keseluruhan melalui pembatasan risiko sistemik. Risiko sistemik sendiri berdefinisi sebagai potensi instabilitas akibat terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size), kompleksitas usaha (complexity), keterkaitan antarinstitusi dan/atau pasar keuangan (interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality).

Langkah berikutnya adalah mengetahui berbagai pihak yang berwewenang terhadap SSK. UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPKSK menjelaskan peranan dan kerjasama antar otoritas Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan:

  1. Kementerian Keuangan, sebagai otoritas kebijakan fiskal memiliki tugas utama untuk mengelola keuangan negara termasuk membiayai pembangunan,
  2. Bank Indonesia, sebagai otoritas kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran, yang membatasi risiko sistemik sistem keuangan dan perbankan yang menyalurkan kredit untuk pembangunan,
  3. Otoritas Jasa Keuangan  (OJK), sebagai otoritas perlindungan konsumen, pengawas mikroprudensial, dan penjaga kesehatan individual institusi keuangan, termasuk bank inisiator kredit sindikasi,
  4. Lembaga Penjamin Sosial (LPS), sebagai lembaga penjamin atas simpanan nasabah dalam bank dan sebagai otoritas resolusi masalah solvabilitas Bank Sistemik serta bank lainnya.

Sumber: https://www.liputan6.com 
Sumber: https://www.liputan6.com 
Dari paparan di atas, Bank Indonesia sebagai otoritas tertinggi Kebijakan Makroprudensial telah berusaha sekuat tenaga menghindarkan bank-bank yang mendanai proyek infrastruktur seperti Tol Trans Jawa agar tidak terkena dampak sistemik. Adapun upaya Bank Indonesia tersebut telah dijelaskan secara gamblang oleh Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Forum de Paris tanggal 07 Mei 2019 dalam tiga hal.
  1. Indonesia secara konsisten terus melakukan reformasi struktural dan fiskal juga terus mengedepankan kebijakan pengelolaan makroekonomi yang berhati-hati yang sangat penting bagi pembangunan infrastruktur seperti penerapan Countercyclical Capital Buffer melalui instrumen BMPK.
  2. Penguatan koordinasi antar otoritas KSSK untuk mendorong peningkatan pembiayaan infrastruktur oleh sektor swasta. Berbagai pembiayaan inovatif telah dikembangkan dan berkontribusi pada pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia, termasuk Public - Private Partnership (PPP), projects bonds, infrasctructure funds, asset and earning backed securities, dan blended finance.
  3. Akselerasi pengembangan infrastruktur yang memperhatikan dampak sosial dan lingkungan (social and environmental infrastructure) untuk mendukung pencapaian agenda Sustainability Development Goals (SDG) 2030 seperti One Blended Finance dan Green Sukuk.

Sebagai penutup, selayaknya kita memberikan apresiasi atas kerja keras Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan sistem keuangan makro Indonesia lewat kewenangan yang dimilikinya. Setiap inisiatif yang berani dan strategis seperti proyek Jalan Tol tentu terdapat risiko inherent yang sepatutnya dimitigasi dan dianalisis, seperti yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Semoga di tahun mendatang Pemerintah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan rakyat berdasarkan asas manfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun