Mohon tunggu...
Eki Saputra
Eki Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Puasa Karbon Selama Ramadan, Kenapa Tidak?

21 April 2020   15:04 Diperbarui: 22 April 2020   09:00 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Perubahan iklim via pexels.com (Pexels.com/PIXABAY)


Siang hari yang terik, berjalanlah tanpa pelindung kepala dan pakaian agak terbuka. Dipastikan kamu merasakan panas yang teramat sangat tidak wajar, kepala pusing, bahkan kulitmu memerah. 

Kamu mungkin bertanya-tanya, waktu kecil bermain layang-layang di siang bolong bukanlah hal baru lagi dilakukan, kenapa sekarang malah menantang?

Di wilayah lain (atau mungkin tempatmu) hujan turun berkepanjangan yang kerap menimbulkan banjir. Rumah-rumah terendam air, panen gagal, dan tanah longsor mengubur perkampungan dalam semalam. Peristiwa yang belakangan tak asing lagi kamu temui di berita-berita harian online atau televisi.

Sadar atau tidak sadar, dunia kita tidak sedang baik-baik saja. Tiga lembaga telah mengamini sekiranya lima tahun terakhir adalah kondisi terpanas dalam 170 tahun terakhir. 

Menurut data NASA, Noaa, dan UK Met, tahun 2019 merupakan keadaan terpanas kedua sejak tahun terpanas pertama pada 1850.

Jadi, pertanyaan kita tentang panas matahari belakangan yang teriknya sungguh membakar itu bukan asumsi atau pernyataan subjektif belaka. Ada perubahan iklim yang sebetulnya pengalaman yang sama-sama kita rasakan, tetapi sangat jarang sekali dibicarakan.

Sebelum kamu membaca lebih jauh artikel ini, siapkan diri dengan kabar tak bagus yang mungkin membuatmu panik.

Bencana Alam dan Perubahan Iklim di Indonesia

Tahun lalu, menurut data BNPB (2020), Indonesia mengalami tren tertinggi terjadinya bencana alam sejak 10 tahun terakhir. Ada 9.391 kasus bencana alam yang didominasi oleh kebakaran hutan hutan dan lahan (3274), kekeringan (1529), puting beliung (1700), dan tanah longsor (1483), serta banjir (1276).

Masih menurut data BNPB. Di bulan April 2020, negara kita setidaknya telah mengalami 1.426 kasus bencana alam yang dua rangking teratasnya adalah banjir dan tanah longsor.

Kita baru saja bicara angka bencana alam. Tidak akan dijabarkan dalam artikel ini mengenai berapa banyak besar kerugian, jumlah korban, dan dampak-dampak bagi banyak sektor di Indonesia.

Yang pasti kita sadar akan fakta bahwasanya terjadi perubahan pada gejala alam yang signifikan dan berdampak pada besarnya kasus bencana alam di Indonesia. Apalagi didukung dengan aktivitas perusakan hutan (deforestasi) untuk kepentingan lahan tambang dan sawit milik elit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun