Mohon tunggu...
Eki Saputra
Eki Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memahami Derita Jadi Orang Jelek

3 Desember 2019   13:13 Diperbarui: 4 Desember 2019   17:36 1034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Frankeinsten (sumber: merinding.com)

Memahami 'iblis' sapaan yang sering diujarkan oleh Victor kepada monster ciptaannya sungguh sangat menyiksa pembacanya. Di satu sisi kita akan membenci sosok ini karena melakukan pembunuhan keji pada keluarga sang penciptanya, di sisi lain rasa sedih, iba, dan sakit pun muncul sewaktu ia membagikan pengalaman hidupnya di tengah manusia.

Jadi orang jelek pasti akan menderita. Premis yang dibawa oleh penulis begitu sederhana dan akan selalu relevan sampai kapanpun. Tampaknya Marry masih terlalu halus mewakilkan sosok jelek sebagai seorang monster.

Sebetulnya dua ratus tahun yang lalu, ia sudah memahami problematika yang akan selalu ada pada diri manusia, yaitu mengenai rasa tidak aman (insecure). Manusia akan selalu takut berhadapan dengan kelemahan dan kekurangannya di hadapan orang lain.

Insecurity terjadi saat seseorang merasa malu, tidak mampu, dan penuh kekurangan. Semakin seseorang merasa insecure, maka ia cenderung akan hidup dalam ketakutan. 

Salah satu alasan seseorang merasa tidak aman yaitu karena kurangnya percaya diri akibat pengalaman buruk di masa lalu. Rasa tidak aman ini bila dibiarkan akan membuat seseorang menjadi iri dan cemburu pada orang lain, dan berubah menjadi pembenci. Bukankah monster dalam kisah tersebut memiliki kondisi yang sama?

Socrates dalam dialognya dengan Euthyphro (The Last Days of Socrates-Plato) berkata bahwa rasa malu selalu diikuti rasa takut, bukan sebaliknya. Seperti halnya orang yang malu pada fisiknya yang buruk rupa, maka ia akan takut dihina dan disakiti lantaran fisik pula.

Dunia memang sudah lama memperlakukan orang-orang jelek dengan tidak adil. Jelek dalam artian fisik, maupun versi tidak ideal yang manusia agung-agungkan. Kita terlalu hipokrit bila mengatakan standar jelek atau bagus itu relatif.

Bila memang relatif, tidak mungkin adanya dongeng 'Si Cantik dan Si Buruk Rupa' , tidak mungkin munculnya produk-produk kecantikkan dengan embel-embel supaya kita tidak tampak tua dan jelek, atau layanan mengubah fisik lewat operasi.

Orang jelek juga kerap mendapatkan diskriminasi. Contoh kecilnya saat seorang jelek melakukan kejahatan, maka mereka akan mendapatkan cercaan yang kasar dan sadis.

Sebaliknya, apabila yang melakukan kejahatan adalah sosok tampan atau cantik, maka orang-orang akan menyayangkan kejadian itu. Padahal sama-sama kriminal lho.

Menjadi orang jelek artinya siap menderita. Satu-satunya agar tidak menderita yaitu mengubah penampilan sebaik mungkin atau menghapus standar yang orang lain bangun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun