Mohon tunggu...
Ekin Njotoatmodjo
Ekin Njotoatmodjo Mohon Tunggu... Lainnya - A Current Student, A Budding Diplomat

University of Washington, Seattle (2019-2023) Hubungan Internasional dan Bisnis Administrasi

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Penyeimbangan Ekonomi di Tengah Pandemi

29 Juni 2020   09:07 Diperbarui: 29 Juni 2020   10:06 1549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Port of Singapore (maritimeinfo.org)

Namun, seindah dan semulianya ide untuk menyelamatkan kemanusiaan, saya tertarik untuk melihat seberapa lama itu akan bertahan. Terbukti, setelah tiga bulan terakhir menyalurkan stimulus ekonomi pada masyarakat, negara-negara kini terlihat kehabisan nafas. 

Bahkan, negara adidaya seperti Amerika Serikat tengah berusaha membuka kembali perdagangan, meski pandemi jauh dari kata usai. Rencana serupa telah diikuti negara-negara lain, Indonesia pula dengan persiapan "New Normal" yang digaungkan oleh kepala negara. 

Realitas ini yang kini menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Ancang-ancang untuk menyelamatkan perdagangan dianggap banyak orang sebagai cermin kepentingan kaum atas.

Perlu dipahami, kedaulatan untuk mencetak uang bukan berarti uang tanpa batas. Dalam kasus perlambatan ekonomi dan resesi, bentuk kebijakan fiskal adalah menggenjot pengeluaran negara. Pengeluaran ini biasanya dialokasikan untuk stimulus dan bantuan ekonomi pada masyarakat. 

Pemerintah Amerika Serikat, hingga saat ini telah mengucurkan $2,8 Triliun paket stimulus untuk bantuan terdampak COVID-19, rekor tertinggi dalam sejarah eksistensi negeri Paman Sam. Pemerintah Indonesia sendiri mengalokasikan Rp16,2 Triliun bantuan untuk masyarakat. 

Pada hakikatnya, pengeluaran besar seperti ini harus sesegera mungkin diimbangi dengan pendapatan. Akan tetapi, dengan terhambatnya perdagangan internasional, sangat sulit memprediksi pemasukan pendapatan negara. Defisit neraca perdagangan kian melebar di tengah ketidakpastian.

Maka dari itu, keberlangsungan pembatasan sosial dan ekonomi bukanlah solusi. Menghentikan kenormalan hanya akan menciptakan bom waktu yang siap meledak besok.

Analoginya, ketika ada sebuah kapal mengirim sinyal SOS di tengah badai pasang. Kapal itu bakal sudah menjadi bangkai di dasar laut, jikalau kita menunggu ombak surut untuk menyelamatkannya. 

Di saat saya menulis, ekonom dunia telah memprediksi bahwa trajektori ekonomi tidak akan kembali stabil hingga 2022, dengan dampak yang akan terasa hingga satu dekade yang akan datang. 

Membangun reruntuhan ekonomi itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Semakin lama kita pasrah menunggu pandemi ini berlalu pergi yang tidak jelas waktunya, semakin parah pula dampaknya. Dengan kacamata ekonomi, akan tiba saatnya negara tidak akan lagi secara rasional bisa menunjang kebutuhan masyarakatnya.

Diskursus dan kritik bahwa tindakan menyelamatkan ekonomi merupakan tunggangan kepentingan yang mengorbankan kehidupan masyarakat, adalah pendapat dari sudut pandang yang salah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun