Bertemu dengannya seakan mengutuk sang waktu atas apa yang telah terjadi. Oranglain mengatakan itu adalah takdir. Namun pernahkah mereka berpikir bahwa karena takdir itu segala tentangku berubah. Â
Kini dihadapanku perempuan itu kembali  hadir. Sebenarnya aku berharap ia datang dengan berurai airmata dan berharap aku bisa menyelamatkan hidupnya. Namun kenyataannya senyum manis dan tawanya tampak begitu renyah.  Bahagiakah dirinya dengan segala kehidupannya.  Bahagiakah dirinya bersanding dengan lelaki  lain itu?Â
Konyol sekalu pertanyaanku. Â Kiranya perempuan itu tidak berbahagia, Â tentunya dirinya tak mau melahirkan tiga anak dari pernikahannya. Perasaan cinta ini hanya ada dalam hatiku. Â Rasa cemburu yang kian bergelayut manja membuatku sering uring-uringan. Â
Sepuluh tahun berlalu sejak perempuan yang katanya menunggu lamaranku justru malah memberikan kejutan dengan undangan pernikahannya. Â Aku yang saat itu mengaguminya telah membuang jauh ikatan pertunanganku. Â Sembari menunggu waktu yang tepat untuk melamarnya, Â justru malah luka mendalam yang kurasakan. Â Aku tahu persis dirinya menyukaiku. Â Tapi entahlah mengapa dirinya malah memilih lelaki lain sebagai imamnya.Â
Sejak saat itu kehidupanku berubah. Â Aku tak lagi menjalani ibadah dengan khusyuk. Â Aku menjalani hari dengan seenakku sendiri. Lalu memilih istri tanpa perlu rasa cinta yang mendalam. Membiarkan istriku mabuk akan cintanya sendiri. Sementara diriku selalu memiliki alasan dengan berjuta masalah pekerjaanku.
Bertemu dengannya kembali membuatku ragu.  Apakah kelak aku bisa merasakan atmosfir penuh cinta  dari tatapan matanya.  Ah,  matanya masih juga memandangku  penuh  cinta.  Mungkin juga iba atas kehidupan ku yang kian tak menentu.
Ah sudahlah...Â