Mohon tunggu...
Eka Nur Aini
Eka Nur Aini Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

I Must Have Courage To Every Challenge

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bermain Boneka Menyebabkan Stereotype Gender bagi Anak Laki-laki?

26 Juli 2021   17:43 Diperbarui: 26 Juli 2021   17:52 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pengenalan peran gender terhadap anak-anak perlu diberikan sejak anak masih berusia dini. Menurut NAEYC (dalam Sujiono 2011:6) Anak usia dini berada pada rentang usia 0-8 tahun. Anak yang berusia 5-6 tahun merupakan bagian dari anak usia dini yang secara terminology disebut sebagai anak usia pra sekolah. Para ahli menyebutkan sebagai masa golden age dimana perkembangan kecerdasan pada masa ini mengalami peningkatan sampai 50%. Menurut Santrock (2009:11) gender is another key dimension of children's development. Pentingnya mengenalkan peran gender sangat berkaitan dengan tumbuh kembang anak dan pembentukan pola pikir anak sehingga harus ditanamkan secara tepat agar tersimpan didalam.

Pembelajaran peran gender dapat dilakukan melalui berbagai metode pembelajaran salah satunya melalui kegiatan bermain. Menurut Hurlock (1978 ;175) seorang guru yang ingin mendorong anak untuk belajar peran gender sederajat akan membiarkan anak laki-laki dan perempuan bermain dengan mainan yang mereka pilih sendiri, tanpa menghiraukan jenis kelamin.

Pengenalan peran gender tidak hanya dilakukan disekolah tetapi dirumah yang dilakukan oleh orang tua. Orang tua merupakan orang terdekat anak yang akan menjadi role model, sosok dan pribadi yang akan ditiru oleh anak.

Selain peran dari sekolah dan orang tua, peran lingkungan sosial juga dapat menjadi pengenalan peran gender terhadap anak. Peran lingkungan sosial khususnya dengan teman sebaya sangat penting bagi anak.

Anak bermain dan berpuran-pura menirukan pengalaman yang mereka alami baik dalam kehidupan sehari-hari maupun berdasarkan imajinasi mereka sendiri yang diperlukan untuk mengembangkan segala aspek perkembangan pada anak meliputi : aspek kognitif, aspek sosial, aspek Bahasa, aspek psikomotorik, dan aspek emosi.

Lingkungan bermain seperti guru, teman, dan orang tua sebagai agent of change  bagi terbentuknya tumbuh kembang anak secara positif diarapkan bisa memahami bahwa dalam mendapatkan stimulasi yang sesuai sehingga anak dapat melalui tahap-tahap perkembangan dengan sempurna.

Menurut Manorom dan Pallock (2006) bermain peran merupakan metode mengajar yang bermanfaat untuk mengembangkan ketrampilan maupun pengetahuan akademik melalui proses stimulasi lingkungan. Shaftel dan Shaftel (1982) metode bermain peran meliputi delapan tahapan : pemanasan kelompok, pemilihan partisipan, menyiapkan penonton, menyiapkan panggung, bermain peran, membicarakan isi tema dan evaluasi, bermain peran kembali, berbagi pengalaman dan generalisasi.

Contoh bermain peran baik dengan menggunakan media permainan atau tanpa media permainan yaitu : masak-masakan, bermain boneka, mobil-mobilan, dokter-dokteran dan sebagainya

Manfaat dari bermain peran itu sendiri yaitu dapat menstimulasi daya imajinasi anak seperti daya kreatif, baik dalam berpikir maupun bertindak. Manfaat lainnya yaitu dapat meningkatkan kemampuan afektifnya seperti minat belajar, motivasi belajar, kemampuan berkomunikasi, berinteraksi dan sosialisasi yang tinggi.

Stereotype terhadap gender terkadang secara tidak sadar diajarkan kepada anak-anak sejak kecil. Tanpa sadar anak tumbuh dengan stereotype yang ditetapkan orang tua. Stereotype ini biasanya mengacu pada perbedaan perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh lingkungan, budaya dan adat istiadat. Tidak hanya jenis kelamin tetapu bisa juga meliputi tanggung jawab, peran, dan pembagian tugas antara perempuan dan laki-laki. Selain hal tersebut juga terkadang anggapan masyarakat, norma yang berlaku, pola asuh dan juga media menjadi penentuan gender. Terkadang kata-kata seperti "anak laki-laki kok bermain boneka" atau "anak laki-laki kok bermain masak-masakan" atau bisa juga "perempuan kok main robot-robotan" kata-kata tersebut secara tidak langsung berkembang pada otak anak yang kemudian menjadi hal yang dia kira tidak boleh dilakukan karena tidak sesuai dengan jenis kelamin menurutnya, dan secara tidak sadar mereka tidak mau melakukan sesuatu hal yang tidak sesuai dengan jenis kelamin. Dari hal tersebut dapat diajarkan terhadap anak bahwa anak laki-laki bisa menjadi maskulin dan membutuhkan bantuan orang lain bukanlah masalah besar begitupula anak perempuan juga bisa feminism tetapi bisa menjadi kuat dan mandiri.

Karlyn Crowley, Ph.D, professor dalam program studi English and Women's and Gender di St. Norbet College, dikutip dari Psychology Today, menyebut bahwa anak lelaki dapat belajar keterampilan mengasuh empati, dan merawat melalui permainan boneka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun