Mohon tunggu...
Ekamara Ananami Putra
Ekamara Ananami Putra Mohon Tunggu... Administrasi - Sekretariat Negara RI

Seorang Insan yang Cita-citanya Terlalu Tinggi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menjaga Pemilik Kedaulatan

9 Juni 2014   15:35 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:35 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemandirian dan kedaulatan bangsa menjadi salah satu wacana penting saat ini. Salah satu sektor yang harus dimandirikan atau didaulatkan yaitu sektor politik. Sebagaimana yang disampaikan Bapak Banga Soekarno dalam konsepsi Trisakti bahwa bangsa Indonesia harus berdaulat secara politik, mandiri di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam budaya. Dalam kesempatan ini, penulis mengangkat wacana kedaulatan politik berkebetulan dengan momentum pelaksanaan hajatan demokrasi lima tahunan pemilhan umum (pemilu).

Mengapa kedaulatan politik? Karena bagi penulis, manusia itu sesungguhnya zoon politicon yang memiliki insting politik. Tetapi, terutama politik itu merupakan alat yang utama dan pertama untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang mampu mengendalikan dan mengatur aspek-aspek lainnya (Easton 1971). Sehingga, tidak berlebihan jika kiranya penulis mengatakan bahwa kedaulatan dan kemandirian politik itu harus dinomorsatukan ketimbang sektor atau bidang yang lain.

Perlunya kedaulatan politik ini sangat pas dengan penyelenggaraan pemilu legislatif maupun presiden tahun 2014 sekarang ini. Sebab, pada tahun ini seluruh elemen bangsa mau tidak mau ikut terhanyut dalam arus transisi rezim pemerintahan. Partai-partai politik kembali hidup bak jamur yang bermunculan di musim hujan, melalui tangan dan sayap-sayapnya masuk ke dalam relung kehidupan masyarakat. Setelah hampir lima tahun lamanya, mereka hilang di siang bolong ketika penyelenggaraan pemilu 2009 usai.

Oleh karena itu, tepat rasanya jika kita ajukan petisi kepada pemimpin bangsa terkhusus kepada pemimpin yang terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) kelak. Tulisan ini sebagai tekstualisasi petisi tersebut setidaknya akan mengulas dua hal pokok yang bermuara pada kemandirian atau kedaulatan politik. Dua hal tersebut yaitu berkaitan dengan rakyat dan pemimpin, sebagai yang diperintah dan memerintah.

Pelaksanaan pemilihan legislatif (pileg) 9 April lalu dan pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli mendatang, akan menjadi catatan penting dalam sejarah politik dan demokrasi negeri ini. Dari pileg dapat kita saksikan bahwa 124.972.491 menggunakan haknya untuk memilih para calon wakil-wakil yang bakal duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI (KPU 2014). Lebih dari 124 juta pemilih inilah yang dalam literatur ilmu politik dikatakan sebagai pemilik kedaulatan (kekuasaan) yang hakiki.

Dalam teori kontrak sosial disebutkan bahwa dunia dikuasai oleh hukum alam (nature) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal. Sehingga teori ini beranggapan bahwa hubungan antara penguasa dan rakyat didasari oleh suatu kontrak yang ketentuan-ketentuannya mengikat kedua belah pihak. Penguasa diberi kekuasaan oleh rakyat untuk menyelenggarakan penertiban dan menciptakan suasana untuk rakyat dapat menikmati hak-hak alamnya dengan aman. Di pihak lain, rakyat akan menaati pemerintahan asal hak-hak alam itu terjamin (Budiardjo 2008). Proses pemberian (mandat) kekuasaan dari rakyat kepada penguasa itu dalam kajian demokrasi konstitusional kontemporer biasanya melalui pemilu (Mayo 1960).

Tanggal 9 April lalu menjadi momentum ketika kedaulatan itu dikembalikan kepada pemiliknya yaitu rakyat. Meskipun, pileg kali ini mendapat catatan kritis dan dianggap paling brutal dalam sejarah pemilu Indonesia akibat maraknya praktek politik uang. Namun, nyatanya pileg berjalan cukup lancar dan damai. Bahkan,  hasil exit poll Indikator Politik Indonesia dengan Metro TV menunjukkan bahwa 54,3% pemilih mengaku penyelengaraan pemilu kali ini cukup jujur dan adil (jurdil) dan 29,7% mengaku sangat jurdil.

Dari pileg tersebut juga didapatkan hasil bahwa 10 dari 12 partai politik (parpol) nasional dinyatakan lolos dan memenuhi ambang batas parlemen 3,5% sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 8/2012 tentang Pemilu. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) keluar sebagai pemenang dengan persentase raihan suara sebesar 18,95% (KPU 2014). Hanya dua partai yakni Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Kesatuan Perjuangan Indonesia (PKPI) yang tidak berhasil mendudukkan wakilnya di DPR.

Meskipun pelaksanaan pemilu kita dikenal dengan istilah demokrasi lima menit. Tetapi, setidaknya rakyat telah menggunakan hak sekaligus menunaikan kewajibannya untuk kembali memandatkan kekuasaannya kepada wakil-wakil yang dipilihnya. Selanjutnya, wakil-wakil yang terpilih–yang notabene juga rakyat–dan terutama partai politiklah yang akan mengelola kekuasaan tersebut guna menciptakan kesejahteraan rakyat sang pemilik kedaulatan yang hakiki. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Abraham Lincoln).

Ritual demokrasi dan proses pemberian mandat nasional dari rakyat di negeri ini tidak berhenti pada pileg semata. Masih ada satu hajatan akbar lagi yang harus dilewati yaitu pilpres sebagai puncak pergantian pimpinan kekuasaan nasional. Sesuai dengan amanat UU No. 42/2008 tentang Pilpres, maka parpol atau gabungan parpol berhak mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). Asalkan memiliki 20% kursi di DPR atau 25% jumlah suara sah nasional.

Seperti kita ketahui bersama, bahwa ada dua pasang bakal capres-cawapres yang diusung oleh gabungan parpol (koalisi). Pasangan pertama yaitu Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dan kedua yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta). Masing-masing diusung oleh koalisi antara PDI-P, Nasdem, PKB dan Hanura dengan Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB dan Golkar. Setidaknya, dua poros koalisi inilah yang bakal bertarung dalam pilpres 9 Juli mendatang. Sebab, Demokrat dan PKPI tidak mungkin mengusung pasangan sendiri. Sehingga pilihannya, bergabung dengan salah satu poros koalisi yang ada atau secara terhormat menjadi oposisi.

Terlepas dari itu, yang ingin penulis sampaikan bahwa siapapun pasangan yang memenangkan pilpres kelak harus mengingat dan menyadari satu hal penting dalam politik dan penyelenggaraan pemerintahan mendatang. Bahwa kekuasaan yang mereka jalankan itu merupakan titipan dari pemilik sesungguhnya yakni rakyat Indonesia. Pemimpin bangsa mendatang harus yakin dan percaya bahwa selama menjaga rakyat sebagai pemilik kedaulatan dengan menciptakan program-program yang menyejahterakan. Maka, selama itu pula pemimpin tidak perlu risau dan galau dengan eksistensi pemerintahan dan kepemimpinannya.

Pemimpin bangsa mendatang tidak boleh tersandera dengan koalisi ciptaannya yang sarat kepentingan dan bagi-bagi kursi kekuasaan. Sudah cukup kita mengalami pemerintahan oleh koalisi gemuk yang menjalankan praktek dagang sapi dan semata-mata menganggap politik sebagai bussines as usual. Maka, petisi untuk pemimpin bangsa atau negara hasil pemilu kali ini yaitu jalankan kekuasaan dan pemerintahan dengan kepemimpinan profetik kerakyatan. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang hakiki harus dijaga dan dirawat melalui program-program kesejahteraan. Sebelum, sang pemilik kedaulatan itu menuntut kembali titipannya dengan caranya sendiri. Akibat dari pelaksanaan pemerintahan dan praktek kepemimpinan yang busuk.

Referensi:

Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Easton, David, 1971, The Political System: An Inquiry into the State of Political Science, New York: Alfred A. Knopf, Inc.

Indikator Politik Indonesia, Hasil Exit Poll Pemilu Legislatif 2014, diunduh dari http://www.indikator.co.id pada tanggal 15 Mei 2014.

Komisi Pemilihan Umum, 2014, Keputusan Komisi Pemilihan Umum No. 411/2014 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Legislatif 2014.

Komisi Pemilihan Umum, 2014, Presentasi Hasil Suara Partai, diunduh dari http://www.kpu.go.id pada tanggal 15 Mei 2014.

Mayo, Henry B., 1960, An Introduction to Democratic Theory, New York: Oxford University Press.

Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun