Mohon tunggu...
Ekamara Ananami Putra
Ekamara Ananami Putra Mohon Tunggu... Administrasi - Sekretariat Negara RI

Seorang Insan yang Cita-citanya Terlalu Tinggi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kenapa Ketua MWA UGM Harus Menteri?

9 Agustus 2016   17:33 Diperbarui: 9 Agustus 2016   17:40 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri Sekretrais Negara (Mensesneg) Prof. Drs. Pratikno, M.Soc.Sc., Ph.D., terpilih sebagai Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada (MWA UGM) untuk periode 2016 – 2021. Demikian inti berita serah terima jabatan (sertijab) MWA UGM pada laman resmi UGM–www.ugm.ac.id–yang dirilis Senin ini (8/8). Sertijab yang diadakan Sabtu (6/8), itu akhirnya menjawab teka-teki segenap sivitas akademika UGM–sekaligus mengonfirmasi “kabar-kabar burung” yang beredar di lingkungan Rektorat UGM–berkenaan dengan sosok siapa yang akan menjabat Ketua MWA UGM pengganti Prof. Drs. Sofian Effendi, MPIA., Ph.D., sebagai Ketua periode 2012 – 2016. Sebelum dilanjutkan, penulis sampaikan permohonan maaf jika artikel ini memakan paragraf yang relatif banyak.

Para Anggota MWA periode sekarang sebenarnya telah dipilih dan ditetapkan dalam Rapat Pleno Khusus Senat Akademik (SA) UGM tanggal 28 April 2016. Menariknya, para anggota baru ini tidak ada satu pun yang terafiliasi sebagai ‘anggota aktif’ atau menjadi pimpinan partai politik (parpol). Ini berbeda dengan keanggotaan sebelumnya–penulis termasuk di dalamnya mewakili unsur mahasiswa S1 pada tahun 2014 – 2015–yang diisi oleh setidaknya tiga anggota aktif parpol yaitu, Luhut Binsar Panjaitan (Partai Golkar), Herry Zudianto (PAN) dan Bambang Praswanto (PDI-P). Meskipun sebenarnya, di atas kertas dua orang pertama tersebut mewakili unsur tokoh masyarakat, sementara yang terakhir mewakili unsur alumni. Pada periode kali ini, tampak keanggotaan diisi oleh para profesional dan bukan ‘politisi’.

Pertanyaan kemudian, kenapa Ketua MWA UGM sekarang harus dijabat oleh seorang Menteri? Sesungguhnya, artikel ini bukan bermaksud untuk menjawab pertanyaan penting tersebut. Artikel ini, betul-betul sebagai sebuah pertanyaan yang didasarkan pada landasan-landasan yuridis dan sosio-politik. Namun, artikel ini juga akan memberikan gambaran-gambaran tertentu sebagai jawaban kasar dan implisit atas pertanyaan sekaligus judul artikel ini. Dan, sebelum terlalu jauh, artikel ini hanyalah sebuah ekspresi penulis sebagai sivitas akademika semata yang punya perhatian atas almamaternya, tanpa memiliki tendensi apa-apa apalagi kepentingan yang bersifat politis.

Landasan Yuridis

Pertanyaan besar dari artikel ini, pertama sekali muncul merujuk pada landasan yuridis yang mengatur UGM, dalam hal ini dua peraturan penting yang digunakan ialah Peraturan Pemerintah (PP) No. 67 Tahun 2013 tentang Statuta UGM dan Peraturan MWA No. 4 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kelola (Governance) UGM, selanjutnya disebut OTK. Statuta dan Peraturan MWA merupakan peraturan tertinggi di dalam hirarki peraturan di internal UGM. Lalu, apa masalahnya? Masalahnya terletak pada Pasal 29 ayat 3 poin b dan c jo. Pasal 46 ayat 4 poin b OTK. Pada kedua pasal tersebut, intinya berbunyi “Pimpinan (Ketua dan Sekretaris) MWA dilarang memangku jabatan rangkap sebagai jabatan pimpinan atau jabatan struktural di instansi Pemerintah atau pemerintah daerah, dan/atau jabatan lain yang dapat menimbulkan pertentangan kepentingan dengan kepentingan UGM”.

Bila kita jujur dalam menjalankan amanat pasal-pasal di atas, maka tentu tidak boleh seorang Menteri menjabat sebagai pimpinan, apalagi Ketua. Penulis akui, sama sekali penulis tidak paham apa yang terjadi di dalam internal MWA dalam proses pemilihan Ketua sehingga mengeluarkan nama Prof. Pratikno. Namun, sebagai orang awam yang membaca teks hukum di atas sangat jelas bahwa pemilihan Prof. Pratikno tampak melanggar hukum. Posisi beliau di struktur pemerintah bukan posisi yang main-main, Menteri Sekretaris Negara, oleh Prof. Sofian sendiri diibaratkan sebagai leher presiden, mengingat betapa vitalnya jabatan Mensesneg. Jadi, tidak masuk di akal penulis mengapa Prof. Pratikno dipilih dan bersedia dipilih sebagai Ketua? Apakah tidak ada sosok anggota lain yang bersedia, setara dengan atau lebih baik daripada Prof. Pratikno?

Pertanyaan terakhir di atas, bukan sama sekali penulis maksud untuk meragukan Prof. Pratikno, bukan. Penulis paham betul akan kompetensi, kapasitas, integritas, kapabilitas bahkan rasa cinta beliau yang amat tinggi kepada Kampus Biru. Lima tahun penulis menjadi mahasiswa UGM, lima tahun itu pula penulis tahu, kenal dan bahkan pernah berinterkasi dengan beliau. Baik dalam kapasitas penulis sebagai mahasiswa beliau di Departemen Politik dan Pemerintahan, Sekretaris Jenderal BEM KM UGM 2014 maupun keanggotaan penulis di dalam MWA tahun 2014 – 2015. Jadi, penulis sama sekali tidak berkeberatan jika beliau memimpin MWA, tentu dengan sikap mengabaikan pasal-pasal yang sudah disebutkan di atas.

Selain pasal tentang rangkap jabatan tersebut yang tercantum di dalam Statuta dan OTK di atas, larangan merangkap jabatan bagi seorang menteri juga jelas tertera di dalam UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 1 ayat 2 UU No. 39/2008 disebutkan bahwa Menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin Kementerian. Lalu pada Pasal 23 terdapat larangan rangkap jabatan bagi seorang menteri sesuai dengan poin a, b dan c pada pasal tersebut. Penulis merasa, Prof.Pratikno melanggar poin c yang bahwa, Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD. Jelas sekali UGM merupakan institusi yang sebagian dari pembiayaannya berasal dari APBN/D sesuai dengan Pasal 63 ayat 1 dan ayat 2 poin e Statuta jo. Pasal 142 ayat 1 dan ayat 2 poin f OTK. RKAT UGM 2016 misalnya, mencantumkan penerimaan dana dari Pemerintah sekitar Rp 1,007 triliun dari total penerimaan sekitar Rp 2,470 triliun.

Sebagai yang awam hukum, penulis mafhum jika pada pasal ini ada pendapat yang menyatakan tidak melanggar ketentuan. Sebab, UGM sebagai sebuah organisasi dipimpin oleh Rektor dan dibantu para Wakil dalam menjalankan tugas-tugas eksekutif organisasi. Tetapi, apakah pimpinan MWA tidak bisa disebut sebagai bagian dari pimpinan UGM? Atau, apakah MWA itu bukan merupakan sebuah unit organisasi yang ada di dalam organisasi besar UGM, yang pembiayaannya juga inheren dengan RKAT UGM yang sebagian bersumber dari Pemerintah itu? Bukankah setiap kebijakan MWA sebagai organ “tertinggi” di UGM akan berpengaruh pada gerak langkah dan kebijakan Rektor? Mungkin para ahli hukum lebih tepat menjawabnya, terutama dari Bagian Hukum dan Organisasi UGM yang penulis duga pasti telah memberikan pendapat dalam hal ini.

Landasan Sosio-Politik

Sekarang, mari kita masuk pada landasan sosio-politik (sospol) yang mungkin akan tampak lebih pragmatis. Pertama, pengalaman sebelumnya. Saat penulis masih aktif sebagai Anggota MWA tahun 2014 – 2015, Prof. Sofian mengundurkan diri sebagai Ketua karena beliau memegang amanah baru sebagai Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) RI, pengunduran diri beliau sebagai Ketua kira-kira alasannya sama dengan uraian di awal tentang larangan merangkap jabatan. Sampai penulis mengundurkan diri dari keanggotaan tanggal 1 Juni 2015, sepengetahuan penulis telah disepakati salah satu Anggota, Prof. Dr. dr. Hardyanto Soebono, Sp.KK(K)., diajukan sebagai Ketua meneruskan sisa masa jabatan sampai 2016 kepada Menristek Dikti. Namun, tampaknya sampai berakhirnya masa bakti periode 2012 – 2016, SK pergantian Ketua itu tidak kunjung keluar–lagi-lagi sepengetahuan penulis demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun