Mohon tunggu...
Eka Y Saputra
Eka Y Saputra Mohon Tunggu... Juru ketik -

Calon penulis yang terlambat belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bom

13 Mei 2018   09:45 Diperbarui: 13 Mei 2018   10:12 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bom tak bisa bunuh diri. Ia tak punya darah untuk ditumpahkan, jantung untuk dilumpuhkan, atau mimpi untuk dimusnahkan. Bom tak pernah ingin melukai siapapun, semulia apapun visi yang hendak diwujudkan. Ia cuma serangkaian mekanisme yang sengaja diramu untuk menceraiberaikan organ-organ yang belum waktunya diuraikan.

Kekeliruan kita adalah mengira bahwa bom bersalah dalam berbagai peristiwa yang memunculkan trauma. Kita menganggapnya lebih berdosa daripada belati, pecahan kaca, senapan, atau ribuan barang remeh temeh lainnya yang kerap mengoyak tubuh dan jejaring cinta manusia. Kita, sengaja atau tidak, mengaburkan peran si subjek utama pemecah kedamaian: rasa yakin berlebihan bahwa diri ini lebih dan paling benar.

Bukannya mengajarkan cara-cara untuk saling memahami, sebagian orang justru bangga menyiarkan jurus-jurus membutakan nurani. Bukannya bertekun mengupayakan momen untuk menikmati keterbatasan usia bersama dengan sebanyak-banyaknya saudara, segolongan orang malah sibuk menyucup harta dan nama dengan meninggitebalkan tembok pembatas imajiner yang memisahkan manusia dengan sesamanya.

Setiap kali bom meledak, selain meremas dada kiri yang nyeri dan menggigit kencang amarah di rahang belakang, kita mesti bersiap menelan ribuan tuduhan yang ngawur. Mulut-mulut juga jari-jari yang saban menit mencari celah untuk menyusun kalimat-kalimat pemecah belah. Spekulasi asal bunyi yang abai pada kompleksitas tragedi, menyederhanakan pelik peristiwa semau-maunya demi memuaskan nafsu mengutuk kaum liyan.

Semoga luka yang pada hari ini kembali mencabik sanubari negeri tak akan terulang kembali. Kiranya fitnah keji dan doa-doa buruk tak terucap lagi. Bagaimanapun juga yang bersalah bukan cuma mereka yang menebarkan teror, kita yang sampai kini masih gagal mencegahnya juga tak pantas tinggi hati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun