Mengurai Lelah, Menyulam Harapan
Hari-hari saya di Commuter Line atau Komuter terhenti sejak 2014, ketika suatu malam memutuskan untuk pulang --- meninggalkan hiruk-pikuk ibukota.
Saya memilih mendedikasikan diri di desa kecamatan di pelosok Provinsi Jambi, melepas harapan akan karir menyenangkan di kota besar, dan menyerah pada kelelahan hidup di kota nan sibuk.
Pagi saya saat itu kala menjadi kelas pekerja yang berjibaku dengan komuter diawali menanti kereta di Stasiun Pondok Cina, Depok, dan menutup hari dengan menunggu kereta pulang di Stasiun Kota.Â
Aktivitas sebagai kelas pekerja saat itu mengukir banyak cerita yang hingga kini masih membekas dalam ingatan.
Saat ini saya hanya mendengar tentang komuter dari cerita-cerita viral di media sosial --- kebanyakan tentang pengalaman tak menyenangkan, terutama kasus pelecehan yang korbannya kerap adalah perempuan.
Meski sudah tersedia gerbong khusus perempuan sebagai upaya menciptakan ruang aman, rasanya itu belum sepenuhnya cukup untuk melindungi mereka.
Selain cerita sedih, tentu ada pula kelucuan tentang "keganasan emak-emak" dalam perebutan tempat duduk, yang kerap mewarnai kisah para pejuang Commuter Line.
Namun, saya tidak ingin mengisahkan itu.
Saya ingin berbagi sekelumit kenangan berkesan dari satu dekade lalu --- tentang tawa yang tetap hadir di tengah lelah, tentang perempuan-perempuan tangguh yang menyulam harapan di antara deru kereta malam.