Mohon tunggu...
Eka Febrianto
Eka Febrianto Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Sosiologi UIN Jakarta

Hidup hanya sekali buatlah yang berarti

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas

10 Juni 2019   08:10 Diperbarui: 10 Juni 2019   08:12 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Review Buku oleh  : Eka febrianto

INDENTITAS BUKU

Judul                : Islam,Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas

Penulis            : Neng Dara Affiah

Penerbit          : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Tahun terbit : Desember 2017

Ukuran Dimensi Buku : 14,5 x 21 cm

Tebal Buku    : xii + 200 halaman

ISBN                 : 978-602-433-555-7

Buku berjudul Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas merupakan buku hasil karya dari dosen saya di FISIP UIN Jakarta, Bu Neng Dara Affifah. Buku ini diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia pada bulan Desember 2017. Buku ini memiliki jumlah halaman sekitar kurang lebih 364 halaman.

Dilihat dari sejarah beliau yang banyak terlibat di berbagai lembaga serta organisasi Indonesia maupun luar negeri khususnya yang berkaitan dengan gerakan perempuan, bu Neng Dara terlihat sangat mendukung kesetaraan terhadap hak-hak perempuan dan dapat dikatakan juga bahwa bu Neng Dara adalah seorang muslimah feminis.

Membaca buku Muslimah Feminis ini, membuat saya terhanyut dalam alur cerita perjalanan Neng Dara Affiah yang sangat luar biasa dalam menjelajahi multi identitas mulai dari identitas etnis,gender,agama dan identitas negara. Buku ini sangat menarik untuk dibaca dan di diskusikan, karena merupakan sebuah biografi intelektual dan spiritual yang berbentuk penuturan. 

Apabila ditambahkan dialog mungkin buku ini sudah seperti novel yang dimana banyak disukai oleh kalangan milineal sekarang ini. Dalam buku Muslimah feminis ini patriarki adalah sebuah kenyataan. Neng Dara Affiah mengalaminya sendiri dan menentangnya dalam perjuangan hidupnya.

Dalam buku ini bu Neng Dara memberikan paradigma yang sangat baik terhadap para pembaca nya sekaligus memberikan penyadaran kepada para pembaca bahwa perempuan bukan lah makhluk kelas dua yang mudah di rendahkan dan menjadi korban dari penindasan-penindasan yang di lakukan oleh laki-laki disebabkan budaya patriaki yang mendominasi.

Di awal Era Reformasi, isu krusial yang menjadi perdebatan publik mengenai hak-hak perempuan adalah isu kepemimpinan perempuan, dipersoalkan ulang Undang-undang perkawinan tahun 1974 mengenai praktik perkawinan poligami,pelarangan perkawinan beda agama,

Pembakauan peran pria sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Selain itu, menggejala kembali isu pemakaian  jilbab sebagai identitas perempuan muslim dengan multi makna dan multi kepentingan.

Permasalahan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki sudah mencuat sejak lama. Budaya patriarki yang sudah mendarah daging sukar untuk dihilangkan yang menjadikan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan perempuan harus tunduk kepadanya.

Konsep kepemimpinan seringkali memiliki makna yang begitu sempit yang hanya dimiliki oleh kaum laki-laki padahal tidak demikian adanya. Konsep kepemimpinan ini memiliki arti yang sangat luas sekali, pemimpin disini dapat berarti pemimpin suatu negara, pemimpin pendidikan, pemimpin pemerintahan, pemimpin diri sendiri.

Dalam Islam, yang mebedakan seseorang dengan yang lain adalah kualitas ketakwaannya, kebaikannnya selama hidup di dunia, dan warisan amal baik yang ditinggalkannya setelah ia meninggal." Dalam sejarah Islam sendiri ada beberapa perempuan yang sangat berjasa dalam kehidupan sang Nabi Muhammad yaitu Khadijah, Fatimah, dan Aisyah.

Dimana Khadijah dan Aisyah adalah kedua istri yang sangat berperan dalam tugas dakwah nabi Muhammad semasa hidupnya, dan juga Fatimah seorang anak perempuan yang selalu menjadi pelipur lara ayah nya dikala sedang mengalami kesulitan dalam berdakwah. Dan nabi memperlakukan mereka dengan manusiawi dan sebaik-baiknya makhluk pada saat itu.

Untuk membentuk kembali pemimpin perempuan islam dalam berbagai ranah maka harus dilakukan dengan cara:

Sejak kecil diberikan pola pendidikan mengenai kepemimpinan, dimana antara perempuan dan laki-laki tidak dibeda-bedakan.

Anak perempuan dan laki-laki berhak mengakses apa saja yang membuat mereka berkembang.

Memberikan kebebasan untuk memilih sesuatu sesuai keinginannya tanpa paksaan.

 Melatih perempuan jatuh bangun dengan pilihannya sebagai pendewasaan hidup dan otonomi diri.

 Menghindari pengerangkengan perempuan dalam sangkar emas, supaya tidak kaku saat berhadapan dengan kehidupan nyata.

Ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki bukan hanya terjadi dalam hal kepemimpinan saja tetapi juga terjadi dalam hal perkawinan. Dimana seorang perempuan yang sudah menikah dianjurkan untuk berdiam dirumah. 

Karena hal tersebut untuk memelihara kesucian dan kehormatannya. Jika seorang perempuan yang menikah ternyata tidak bisa melahirkan anak (mandul), maka ia akan dicemooh dan dicampakkan karena dinilai tidak berharga. Bahkan, perempuan yang menjadi korban perzinaan akan mendapatkan sanksi yang lebih berat daripada laki-laki. 

Mengapa demikian? Karena secara fisik terdapat "jejak" yang ditimbulkan dari hubungan seksual dan itu menjadi permasalahan. Hal tersebut tentu tidak adil bagi perempuan, karena perbuatan yang dilakukan bersama, mengapa hanya perempuan yang paling berat menanggung akibatnya.

Untuk menghindarkan perbuatan zina, agama islam menganjurkan para umatnya untuk menutupi bagian tubuhnya (aurat) dengan menggunakan jilbab (penutup kepala) dan pakaian tertutup. Tujuannya adalah mencegah terjadinya fitnah, karena tubuh perempuan dipandang sumber fitnah (itqo al-fitn), pembedaan dengan lawan jenis (al-tamyiz), dan pemuliaan (al-tahkim). 

Walaupun sempat dilarang, penggunaan jilbab dan pakaian tertutup ini bukan lagi suatu pemandangan yang luar biasa di Indonesia. Malah jilbab hampir menjadi pakaian lazim perempuan muslim Indonesia dari berbagai lapisan kelas sosial dalam masyarakat. 

Namun di era reformasi, jilbab "dipolitisasi" untuk kepentingan politik guna meraih suara pemilih demi suatu jabatan seperti bupati, gubernur atau anggota DPR. Hal tersebut dilakukan untuk memperlihatkan bahwa kandidat penguasa perempuan itu islami dan shalehah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun