Mohon tunggu...
Eka Adhi Wibowo
Eka Adhi Wibowo Mohon Tunggu... Dosen - Seseorang yang tiada lelah menimba ilmu

Dosen Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Etika Bisnis ala Wong Cilik

31 Agustus 2017   15:48 Diperbarui: 31 Agustus 2017   15:51 1492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kata 'wong cilik' mungkin sering terdengar di telinga kita, juga sering muncul di media-media massa. Arti dari 'wong cilik' adalah 'orang kecil', tentu bukan secara fisik, tetapi merupakan bahasa kiasan untuk menggambarkan kaum ekonomi lemah, orang-orang yang berpendapatan rendah, bekerja di sektor informal, dan mungkin juga tidak sempat mengenyam pendidikan dengan tingkat yang lebih tinggi. Tetapi mereka harus tetap bekerja untuk mempertahankan hidup mereka, untuk menghidupi keluarga hingga mempertahankan agar dapur tetap berasap. Tuntutan hidup tersebut membuat mereka harus mau bekerja sesuai dengan kemampuan apapun yang mereka miliki.

Kata 'Etika' juga mungkin merupakan kata yang tidak asing di telinga kita, etika adalah standard moral untuk mengukur baik atau buruknya tindakan seseorang, serta bagaimana implikasi tindakan tersebut terhadap hidup orang lain (Velasquez, 2012). Pertanyaannya adalah apakah orang-orang yang termasuk dalam golongan 'wong cilik' tersebut dapat beretika ketika mereka menjalankan bisnis kecil mereka? Jawabannya bisa macam-macam, ada yang menilai bahwa wong cilik tidak beretika ketika berbisnis, tidak dapat dipungkiri memang kita dapat lihat bagaimana wong cilik itu mengganggu kenyamanan kita ketika menjajakan dagangannya sehingga area jalan kita menjadi terganggu, ketika kita di jalan dan berpapasan dengan wong cilik yang sedang menarik becak, ditambah lagi dengan lapak-lapak mereka yang membuat kita tidak nyaman ketika kita sedang jalan-jalan, mereka juga sering menjadi sumber kekotoran lingkungan dari sampah-sampah yang menumpuk. Tetapi ternyata kita bisa melihat sisi lain kehidupan mereka dari pengamatan penulis terhadap kehidupan mereka, melalui beberapa kisah berikut ini:

Pagi menjelang siang terdapat tiga orang penarik becak yang biasa mangkal di ujung gang perumahan, sebut saja nama mereka Mas Wahyudi, Pak Jumadi, dan Pak Somijo (bukan nama sebenarnya) Pak Somijo dan Pak Jumadi sedang bercakap-cakap di tempat mangkal mereka, Pak Somijo sudah dapat penumpang tadi untuk mengantarkan ke pasar, sedangkan Pak Jumadi belum dapat penumpang seorang pun, kemudian datanglah Mas Wahyudi yang baru saja mengantarkan penumpangnya. Di tengah-tengah percakapan mereka Pak Somijo didatangi oleh calon penumpang tetapi Pak Somijo justru memberikan calon penumpang itu kepada Pak Jumadi yang sedari pagi belum dapat penumpang, Pak Jumadi pun bersyukur dibagi rejeki dari rekannya sehingga ada uang yang dapat dia bawa kepada keluarganya nanti saat pulang ke rumah. Selanjutnya ada seorang ibu yang berwira usaha dengan membuat peyek untuk dijual, sebut saja namanya Bu Mujinah (bukan nama sebenarnya), setiap pagi dia selalu cekatan meracik dan menggoreng peyek (kerupuk) yang terbuat dari berbagai macam bahan mulai dari bayam hingga belut, 1 plastik dihargainya seribu rupiah. Hasil penjualan peyek tersebut digunakan untuk membiayai kuliah anak kedua dan anak ketiganya karena anak pertama sudah bekerja. Setiap hari Bu Mujinah ini selalu didatangi pelanggan sebut saja Pak Wakidi dan Mas Sulis (bukan nama sebenarnya) yang berprofesi sebagai penjaja angkringan dan beberapa pedagang kecil lainnya. Kenapa bisnis Bu Mujinah ini bisa berjalan dan bertahan hanya dengan mengandalkan langganan pedagang-pedagang kecil? Singkat cerita Bu Mujinah ini juga pernah hampir bangkrut karena dulu pernah melayani pesanan dari pemilik rumah makan besar yang pesan dalam jumlah cukup banyak, tetapi ternyata ketika ingin menagih uangnya sulitnya bukan main, padahal rempeyek yang ada di rumah makan tersebut sudah habis, alasan dari rumah makan adalah bos rumah makan tersebut sedang pergi, itu terjadi terus-menerus bahkan hingga rumah makan besar tersebut tutup uang juga tidak didapat bahkan bos rumah makan tersebut juga tidak jelas kabarnya sampai sekarang. Akhirnya perhiasan peninggalan suami digadaikan untuk modal kerja dan langganan datang dari pedagang-pedagang angkringan kecil yang meski hanya beli sedikit-sedikit tidak pernah utang alias selalu kontan. Lebih baik saya melayani yang kecil-kecil saja memang belinya tidak banyak tetapi mereka selalu membayar tepat waktu tuturnya. Kisah lain juga datang dari Pak Wakidi pedagang angkringan langganan Bu Mujinah, dulu juga sempat hampir bangkrut karena diusir dari tempat berjualan yang akan dibangun Mall, sehingga dia harus pindah ke tempat lain yang agak sepi meskipun tidak jauh dari tempat jualannya dulu, tetapi kemudian ada Kang Samin yang berjualan bakmi dan nasi goreng dekat tempatnya jualan, warung Kang Samin laris karena menjadi langganan makan malam pegawai Mall, tetapi Kang Samin tidak mau berjualan minuman, kenapa? Supaya Pak Wakidi yang menyediakan minuman bagi mereka yang makan di warungnya, sehingga angkringan Pak Wakidi juga kebagian pendapatan dan bisa bertahan sampai sekarang.

Cerita-cerita di atas hanyalah sekelumit kisah dari observasi kehidupan bisnisnya wong cilik, yang mungkin sering dilabeli orang-orang yang tidak tahu etika bisnis, tetapi bagaimana perilaku mereka dalam berbisnis dapat menjadi contoh penerapan etika dalam bisnis.

Jogjakarta, 31 Agustus 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun