Mohon tunggu...
Eka Fitri Asfahani
Eka Fitri Asfahani Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

keep spirit

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kisah Inspiratif Difabel: Bangun Produktivitas di tengah Diskriminasi Masyarakat

26 November 2022   09:56 Diperbarui: 26 November 2022   10:23 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Difabel merupakan sebutan bagi individu yang memiliki keterbatasan fisik. Diskriminasi terhadap kelompok difabel pada kenyataannya masih banyak terjadi di dalam masyarakat, hal tersebut dapat kita dilihat melalui sulitnya para penyandang difabel untuk mendapatkan aksesibilitas baik fisik maupun non-fisik. Dalam lingkup akses fisik yang salah satunya adalah masih kurangnya fasilitas pelayanan publik bagi penyandang difabel. Sedangkan dalam lingkup akses non fisik, terkait lingkungan sosial, etika berinteraksi, dan teknologi. 

Diskriminasi merupakan salah satu akses non fisik yang tidak ramah untuk difabel karena akan membuat mereka merasa sendiri dan terkucilkan. Adanya diskriminasi-diskriminasi tersebut tentunya menjadi tambahan tantangan bagi para difabel dalam menjalani kehidupan mereka. Seperti halnya yang terjadi pada narasumber kami yaitu Bapak Very. 

Beliau merupakan seorang tuna daksa pada bagian kaki kirinya yang bertempat tinggal di Kecamatan Patrang Jember, dan kesehariannya bekerja sebagai penjual kaki palsu. Keadaannya demikian sejak kecelakaan truk yang dialaminya saat umur 25 tahun dan mengakibatkan ia harus merelakan kaki kirinya untuk diamputasi. Bukan hal mudah baginya untuk menerima kenyataan yang terjadi padanya, ditambah munculnya cacian dari masyarakat hingga dikucilkan. Mereka menganggap beliau tidak bisa melakukan pekerjaan apa pun dan kegiatannya hanya makan, tidur dan main saja. Hal tersebut membuat beliau terpuruk beberapa waktu hingga muncul pemikiran untuk mengakhiri hidup namun tidak pernah berhasil. "Saya hampir mencoba untuk bunuh diri dengan menyeberang jalan tanpa tolah toleh jalan di rel" tuturnya.

Seiring berjalannya waktu, ia mencoba untuk menerima keadaannya dan tak ingin terpuruk dalam kesedihan. Akhirnya mulai menelaah hal-hal yang terjadi kepadanya secara lebih positif. Melalui percobaan bunuh diri yang beberapa kali beliau lakukan namun Tuhan masih memberikan kesempatan sekali lagi untuk melanjutkan hidup dan mulai mengubah cacian dari masyarakat sekitar sebagai motivasi guna menjadi lebih baik kedepannya. Pada tahun 2016 Pak Very mulai mencoba untuk membuat kaki palsu yang awalnya hanya untuk keperluan pribadi namun ternyata ada beberapa orang yang tertarik terhadap kaki palsu tersebut. Karena banyak yang tertarik pada kaki palsu yang dibuat oleh beliau, akhirnya memutuskan untuk menggeluti profesi tersebut dan menjadi mata pencaharian utama hingga saat ini. Profesi yang dijalankan saat ini sebagai pembuat kaki palsu bukan tanpa alasan, pertama muncul dari kegelisahannya sendiri yang merasa kurang nyaman memakai kaki palsu dari rumah sakit karena sering lecet dan rentan rusak. Alasan kedua yaitu dia ingin membantu orang-orang sepertinya. 

Wilayah Jember sendiri sudah memiliki peraturan yang menyatakan bahwa kelompok difabel juga mempunyai akses di lingkup masyarakat yaitu pada Peraturan Daerah Kabupaten Nomor 7 tahun 2016, pasal 23 yang berbunyi "Hak hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat". Untuk itu seharusnya kaum difabel juga berhak memiliki hak di masyarakat, namun di sini masih saja ada beberapa masyarakat yang melakukan diskriminasi. Memiliki kekurangan bukanlah hal yang diinginkan oleh setiap orang untuk itu jika kita tidak bisa mendukung atau menguatkannya maka jangan mengatakan hal yang buruk kepada mereka. Karena hal tersebut akan menyakiti dan membuat mereka merasa terpuruk yang pada akhirnya akan tertuju pada kemungkinan negatif seperti percobaan bunuh diri. Setiap orang memiliki mental yang berbeda-beda dan berbeda pula saat menghadapi suatu masalah. Salah satunya seperti Pak Very yang menjadikan cacian sebagai motivasinya untuk berkembang, lain halnya dengan yang lain. 

Fenomena ini menarik jika dipandang dalam kajian sosiologi dengan meminjam konsep teori tindakan oleh George Herbert Mead dalam bukunya yang berjudul Mind, Self dan Society dimana Mead menganggap bahwa adanya rangsangan dalam wujud dorongan hati yang timbul dari diri kemudian digunakan sebagai kesempatan atau peluang untuk bertindak, bukan dijadikan sebagai paksaan atau perintah. Hal ini serupa dengan pengalaman Pak Very yang memanfaatkan rangsangan atau dorongan hati untuk berkembang setelah adanya cacian yang dilontarkan oleh masyarakat terhadapnya. Masyarakat yang dulunya mendiskriminasi dan memandang sebelah mata. Namun, berhubungan dengan hal tersebut beliau tidak memikirkan cacian yang dilontarkan kepadanya. Justru dengan cacian tersebut diubah dengan memanfaatkan momentum untuk memulai hal baru dengan dibuktikan dari usaha yang didirikan yaitu kaki palsu. Dan saat usaha itu berkembang masyarakat yang dulunya melakukan diskriminasi beralih berubah haluan menjadi peduli terhadapnya. 

Penulis:

Nur Aini Zulfa (200910302006)

Inggrit Ika Anggraeni (200910302071)

Sherlyna Rosalia Kusuma Wardani (200910302026)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun