Mohon tunggu...
Jonas Endra
Jonas Endra Mohon Tunggu... Administrasi - Politik, Fiksi

Jl. Puri Lontar Oebufu Kupang, NTT. Seorang Muda, berhenti berpikir dari segi keterbatasan tapi mulailah berpikir dari segi kemungkinan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenikmatan Sementara

1 September 2019   10:00 Diperbarui: 1 September 2019   10:12 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: enterpreuner.com

Hitam telah meresapi jagad raya, tak terasa pukul 22.21 Wita. Saya bersama dua orang teman, dua diantaranya tengah merepotkan jari pada game PUBG sedangkang saya? Menghayal. Apa yang saya khayalkan?

Aku menghayalkan diriku adalah Jhon Snow. Seorang tokoh dalam film series fiksi, Game Of Trones yang di producers oleh Oliver Butler dan Annick Wolkan. 

Seorang pemimpin muda dari utara dengan intelektual dan kemampuan yang luar biasa ingin mempersatukan Westeros dalam kedamaian, sayup-sayup seperti tersambar dunia paralel diriku adalah Alonso Quixano, seorang lelaki Hidalgo 50 tahun yang punya banyak uang dan menghabiskan waktu luang dengan membaca begitu banyak buku dongeng tentang pengorbanan para kesatria, saban hari sedari senja hingga fajar dan hari-hari menjelang fajar hingga malam. 

Akibat kurang tidur dan kebanyakan membaca membuat otaknya mengering hingga mengira dirinya sedang hidup di zaman dulu ketika para jagoan bertempur memperjuangkan hal luhur kebenaran dan keadilan.

Syahdan, sang toko protagonis ini tiba-tiba memutuskan meninggalkan rumah, berkeliling naik kuda lengkap dengan amor zirah nan pedang menghiasi pinggangnya untuk memenuhi penggilan ke-kesatria-annya. 

Meluruskan segala hal yang buruk di masyarakat serta membawa keadilan bagi dunia. Petualangan si majnun ini pun menjadi seru sebab ia menganggap segala sesuatu di dunia nyata seturut fantasi dan bacaan. 

Ia menamai kudanya Rocinante, lalu merekrut seorang pengawal bernama Sancho Panza yang aslinya hanya seorang petani sederhana. Ia juga menunjuk sesosok gadis yang entah sebagai cinta imajinernya yang diberi nama Dulcinea del Toboso, yang darinya ia memperoleh nilai-nilai keindahan dan kebenaran. Ya, kebenaran, kebenaran yang mana? Pertayaan kemudian muncul, kebenaran seperti apa? Aku bingung.

Seorang pernah berbicara, kebenaran ibarat sebuah cermin yang di pegang oleh yang Mahakuasa dan dilepaskan ke atas bumi. Pecah berserakan. Dan kita, mengambil serpihan-serpihannya dan mengklaim bahwa serpihan yang kita ambil adalah sebuah kebenaran absolut. Mungkin seperti itu.

Kalau boleh mengutip Haz Algebra dalam tulisannya, Don Quixote de la Hoax: Sihir Narasi dan Hegemoni Fiksi, Haz mengatakan bahwa manusia adalah Homo Quixotienses, makluk naratif yang hidup dan dibentuk dari cerita, digerakkan oleh cerita dan hidup untuk cerita. 

Ah, apa yang aku bicarakan? Sebenarnya aku jengkel terhadap mereka. Mereka! Genghis Khan yang coba definisikan moral. Berkoar-koar tentang kebenaran. 

Kebenaran yang di hitam putihkan. Sudahlah. Leonardo da Vinci, diriku yang lain, memang selalu begitu, ingin selalu eksis. Sedangkan aku, makluk non-eksisten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun