Mohon tunggu...
eire ivan
eire ivan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gimana Cara melindungi Kekayaan Alam Indonesia Supaya Gak Dicuri Negara Lain?

24 Juni 2015   15:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:04 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki kepentingan yang besar serta kebutuhan mendesak untuk melindungi dan mengolah Sumber Daya Genetik Pengetahuan Tradisional (SDGPT) dan folklor secara berkesinambungan. Namun nyatanya, banyak aset berharga yang telah dieksploitasi secara komersil tanpa izin dan sepengetahuan pihak berwajib sehingga hukum internasional dan hukum nasional mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) menjadi bahan diskusi utama dalam membahas perlindungan SDGPT.

 


Mengacu pada isu tersebut, Center for International Trade and Investments (CITI) UPH bermitra dengan New Zealand Center for International Economic Law (NZCIEL) dan Indonesian Intellectual Property Society (IIPS) serta Program S3 Fakultas Hukum (FH) UPH melaksanakan diskusi kelompok terarah dengan topik ‘Dimensi Domestik dan Internasional pada Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional’ pada tanggal 16 Juni 2015 di UPH Executive
Education Center (EEC), Aryaduta Suites Semanggi. Diskusi yang dihadiri 35 orang dari mahasiswa S2 dan S3, Kementerian Luar Negeri, ERIA, Kedutaan Besar Afrika Selatan dan lainnya, menghadirkan pembicara Prof. A. Zen Umar Purba, dosen hukum Universitas Indonesia yang juga merupakan mantan Direktur Jenderal HAKI Departemen Kehakiman dan HAM serta Prof. Susy Frankel, Profesor Hukum di Victoria University of Wellington dan Direktur NZCIEL, serta dipandu oleh Michelle Limenta, Deputy Director of CITI.

 


Setelah dibuka secara resmi oleh Prof. Bintan Saragih, Dekan FH UPH, diskusi dimulai oleh Prof. Susy Frankel yang mempresentasikan mengenai hukum internasional HAKI sehubungan dengan Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional (SDGPT) khususnya yang diatur dalam perjanjian World Intellectual Property Organization (WIPO) yang membahas mengenai hak paten dan pengetahuan tradisional. Selain Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Protokol Nagoya, komunitas perdagangan internasional turut memerhatikan isu SDGPT dan juga telah mengambil langkah dalam melindungi pengetahuan tradisional dari berbagai macam budaya. Prof. Frankel juga menekankan pentingnya HAKI dalam SDGPT, khususnya HAKI pada keberatan atas permohonan pendaftaran dan pengungkapan asal dari SDGPT. Ia juga berbicara mengenai perjanjian TRIPS (Aspek-aspek Hak Kekayaan Intelektual yang Terkait dengan Perdagangan) dan undang-undangnya untuk mencegah biopiracy. Sayangnya, TRIPS belum dapat mencegah biopiracy, persyaratan persetujuan sebelumnya maupun pembagian hasil yang adil dan pantas. Muncul pertanyaan, apakah masyarakat internasional hanya menawarkan kebijakan reaktif? Kedua pembicara setuju bahwa hingga saat ini diskusi internasional telah menggerakkan debat domestik.

 

Selanjutnya, Prof. Purba menyarankan bahwa komunitas internasional harus membiarkan masing-masing negara mengimplementasikan perjanjian TRIPS sesuai yang ditetapkan pada hukum domestik masing-masing negara. Negara juga sebaiknya didorong untuk menggunakan HAKI sehingga dapat menarik investasi asing yang dapat turut berpartisipasi aktif dalam menyempurnakan sistem internasional HAKI yang merefleksikan kepentingan mereka, termasuk mewadahi potensi ekonomi. Selain itu, Prof. Purba membahas mengenai draf Undang-undang mengenai SDGPT, yang telah cukup lama diajukan pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sehingga kemungkinan isi draft tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan perlindungan SDGPT saat ini.

 


Peserta berdiskusi bertanya mengenai kondisi Indonesia, seperti bagaimana seharusnya Indonesia mengimplementasikan HAKI untuk melindungi SDGPT. Hal ini mengangkat banyak komplikasi dalam hubungan dengan negara tetangga seperti Malaysia, yang memiliki persamaan dalam hal tradisi dan budaya. Bagaimana mengembangkan dan mendapat manfaat dari SDGPT? Bagaimana SDGPT dapat diimplementasikan di abad 21 ini dan melindunginya dari eksploitasi pembajakan modern, melihat Indonesia memiliki latar belakang yang kaya dan beragam, tapi pemerintah tidak memberikan perlindungan yang memadan?

Diskusi kemudian ditutup oleh Simon Lacey, Direktur UPH CITI dan dilanjutkan dengan makan siang. (el/UPHCITI)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun