Mohon tunggu...
Melihatketimur
Melihatketimur Mohon Tunggu... Human Resources - Adalah pergerakan mencerdakan kehidupan bangsa

Sebagian Hidup Adalah pengabdian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sumpah Sebagai Alat Pembuktian Kebenaran Wilayah

19 November 2017   19:44 Diperbarui: 22 September 2018   22:28 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah Kebenaran Akan tetap di Jalannya, EHD

Jika kita mencintai sesuatu biarkan sesuatu itu pergi, jika kembali milik kita sesungguhnya. Kata serapan ini berbanding terbalik dengan sifat saling mengklaim, seraka atau mengambil hak orang lain terkadang menjadi salah satu ciri dasar manusia di muka bumi, walaupun dalam jumlah yang sedikit. Namun hal-hal seperti itu menjadi hal tidak wajar yang harus diterima.

Ada dua sudut timur yang telah penulis singgahi, tentu banyak perbedaan yang sangat mencolok. Baik dari fisik masyarakatnya, maupun dari pola penerapan budaya yang ada. Dalam tulisan ini, penulis ingin membahas sebuah perjanjian yang bisa dibilang tidak masuk akal. Namun masih diaplikasikan oleh sekelompok masyarakat sampai saat ini, hal tersebut cendrung menjadi sebuah akhir dari pembuktian kebenaran harfiah.

Bagian timur Indonesia lainnya, baik di sudut Maluku ataupun sudut Papua Barat yang sempat penulis pijak. Ada semacam pembuktian retorika dari sebuah pertikaian. Sebuah sumpah yang terpikir aneh, tetapi masih ada. Tentu ini terjadi disaat semua hal itu dibutuhkan. Sumpah makan tanah! Masyarakat menyebutnya. Biasanya dilakukan untuk pembuktian kebenaran dari kelompok yang sedang mengalami pertikaian terkait wilayah adat. Perebutan dan pengakuan ruang hidup masyarakat satu dengan masyarakat lainnya yang cendrung menjadi sebuah konflik massive.

Biasanya sumpah makan tanah dilakukan untuk membuktikan hak wilayah, semisal ada pertikaian antara adat ataupun antara marga yang mengklaim bahwa suatu ruang wilayah hidup milik dari kelompok mereka, sedangkan dari pihak lain yang telah lama menggunakan tetap mempertahankannya. Kondisi tersebut bukan hanya akan menjadi pertikaian dari sebuah tekanan konflik, tetapi juga membuat rekonsiliasinya semakin sulit. Untuk itu perlu akhir dari penyelesaian yang Cerdas dan kuat. Bagi mereka sumpah makan tanah adalah salah satu cara untuk mengakhiri semua.

Sumpah makan tanah ini, bukan hanya dilakukan secara perorangan yang sedang bertikai. Namun kelompok, ataupun perorang yang mewakili kelompok tertentu. Untuk melakukan sumpah makan tanah tersebut. Sosok yang cendrung melakukannya adalah ketua adat atau kepala suku dari marga tertentu. Bahkan terkadang akan dilakukan oleh kepala kampung, jika kepala kampung berpihak pada salah satu kelompok yang bertikai.

Sumpah makan tanah yang terhubung dengan pelaksanaan adat istiadat, yang telah dilakukan dari masa kemasa. Dalam arti lain, sumpah tersebut bukan muncul di akhir-akhir ini, tetapi telah berlaku sedari dahulu. Kondisi Itu merupakan sumpah paling akhir dalam konteks pembuktian. Siapa yang berdampak dari proses makan tanah, maka dialah mewakili kelompok yang kalah. Dampak yang dimaksut iyalah, akibat dari dampak oleh siapa saja yang bersalah. Biasanya akibat tersebut tidak langsung akan diterima dalam waktu cepat, ada waktu tertentu yang membuat mereka merasakan efek dari sumpah makan tanah tersebut. Salah satu Impact dari proses sumpah, biasanya cendrung membuat pihak yang kalah mengalami kesakitan luar biasa. Bahkan, tidak hanya diserang oleh penyakit, tetapi juga membuat orang yang telah melakukan perjanjian sumpah makan tanah terbunuh.

Jika salah satu dari orang yang mewakili kelompok tersebut mati, maka pihak sebelah dinyatakan sebagai pemenangnya. Dalam kata lain, pihak yang memiliki wilayah tersebut akan terbukti sebagai pemilik yang sah. Sedangkan pihak yang kalah tidak berhak apapun terkait wilayah ruang hidup tersebut. salah satunya pernah terjadi pada Pulau di Kepulauan Aru yang pernah penulis kunjungi, kelompok yang kalah cendrung akan pergi dari kampung dan rumah rumah mereka ditinggalkan, untuk waktu yang lama.

Atraksi ini biasanya diawali oleh tua tua adat, ataupun kepala adat yang sudah buntu dalam mencari solusi dari sebuah permasalahan kewilayaan. Setelah beberapa tahapan penyelesaian yang sudah sudah dilalui, namun belum menemukan penyelelesaiannya, sumpah makan tanahlah yang menjadi pilihan tepat untuk itu. Acara adat pun akan dimunculkan untuk pelaksaan perjanjian ini, bukan hanya dari pihak yang bertikai, tetapi juga dari beberapa pihak luar seperti pihak pemerintah, pihak keamanan dan pihak lainnya yang bisa menjadi saksi dari pelaksanaan sumpah tersebut.

Ada dua versi terjadinya sumpah makan yang pernah penulis list dalam catatan kecil, pertama di Kepulauan Aru, salah satu pulau kecil di sudut timur maluku. Sumpah makan tanah di sana terjadi pada durasi waktu pertikaan sebelum tahun 2010, serta dilaksanakan pada tahun itu juga. Sedangkan di kampung kecil selatan Papua Barat, sumpah makan tanah terakhir terjadi pada 2012. Keduanya membuat pihak penuntut terbukti bersalah, hingga mereka menerima kematian yang terbilang aneh. Baik itu sebuah realita nyata, ataupun sajian dari scenario tuhan.

Namun yang menjadi catatan disini, masih ada sebuah pembuktian besar dengan resiko yang sama untuk sebuah kesalahan seorang manusia. Walaupun sebuah tradisi yang masih dianggap kolot, tetapi tetap dalam rule mencari sebuah kebenaran semata. Seyogyanya wilayah yang ada merupakan titipan tuhan kepada kita, sebagai khilafah di muka bumi ini. Dalam arti luas semua wilayah dan seisinya hanya sebuah titipan sementara untuk kita, sehingga kita tidak perlu mengakui milik kita sepenuhnya.

    

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun