Mohon tunggu...
Egia Astuti Mardani
Egia Astuti Mardani Mohon Tunggu... Guru - Pejalan

Pendidik yang Tertarik pada Problematika Ummat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Belajar dari Krisis Tunisia: Antara Otokrasi dan Demokrasi

6 Agustus 2021   17:30 Diperbarui: 7 Agustus 2021   14:03 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Buntut pandemi berkepanjangan tidak hanya dialami Indonesia. Krisis berkepanjangan juga dialami negara lain, salah satunya Tunisia yang akhir-akhir ini sedang memanas dengan konflik dalam negerinya. Presiden Tunisia, Kais Saied, menerapkan keadaan darurat nasional atas pandemi Covid-19 dan pemerintahan yang buruk dengan memberhentikan Perdana Menteri, membekukan parlemen, dan merebut kendali eksekutif (Republika, 1/8/2021).

Seiring mencuatnya konflik dalam negeri Tunisia, Penasehat keamanan nasional AS, Jake Sullivan, melalui sambungan telepon mendesak Presiden Tunisia untuk segera membawa negaranya ke "jalur demokrasi" setelah mengambil alih kekuasaan pemerintah pada Ahad lalu. Sullivan menekankan kepada Saied untuk segera membentuk pemerintahan baru untuk menstabilkan ekonomi Tunisia dan menghadapi pandemi Covid-19, serta memastikan kembalinya parlemen terpilih secara tepat waktu. 

Sempat dituduh melakukan kudeta karena memecat perdana menteri (PM) dan membekukan parlemen selama 30 hari, Saied menyatakan tidak akan menjadi pemimpin diktator. Tunisia memang menjadi salah satu negara yang pernah mengalami krisis politik pada Arab Spring beberapa tahun lalu. Arab Spring telah mengubah wajah politik Tunisia yang awalnya dikuasai kekuasaan diktator menjadi negara demokrasi sejak revolusi 2011. Tidak heran peristiwa pemecatan perdana menteri dan pembekuan parlemen telah membawa kekhawatiran dan membangkitkan trauma negara tersebut. Namun, mengapa krisis politik kembali terjadi di Tunisia pasca adanya demokratisasi?

Tunisia Sebelum dan Setelah Arab Spring

Bagaikan gelombang tsunami, Arab Spring telah meluluhlantakkan kekuasaan diktator di beberapa negara di Timur Tengah, termasuk Tunisia. Bahkan Tunisia menjadi negara pertama yang menyebarkan gelombang ini hingga meluas ke beberapa negara lain sejak tahun 2011 setelah sebelumnya merebak Revolusi Melati pada tahun sebelumnya.

Rezim Zainal Abidin Bin Ali (atau yang lebih familiar dengan nama Ben Ali) yang dinilai otoriter dianggap gagal mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Tunisia. Dilansir dari kompas.com, rezim Ben Ali yang telah berkuasa selama 20 tahun telah menorehkan daftar kegagalannya dalam memerintah Tunisia. 

Kegagalan tersebut di antaranya: kesenjangan sosial dan angka pengangguran yang tinggi, korupsi dan penyalahgunaan wewenang dari penguasa dan keluarga rezim hingga tingginya kasus-kasus pelanggaran HAM oleh rezim berkuasa.   

Daftar panjang kegagalan rezim Ben Ali disambut semangat perubahan dan demokratisasi oleh rakyat Tunisia. Revolusi Melati pada tahun 2010 bermula. Dalam perkembangannya, Revolusi Melati bergulir hingga terus membesar menjadi gelombang Musim Semi Arab (Arab Spring). 

Tunisia menjadi negara pertama yang menyelenggarakan pemilu pasca Arab Spring. Hasil akhir perhitungan suara menunjukkan partai An-Nahdhah memperoleh suara signifikan dengan meraih 89 kursi dari 217 kursi yang diperebutkan mengungguli partai lainnya seperti Partai Kongres (CPR) yang memperoleh 29 kursi dan Ar-Ridha Asy-Sya'biyyah dengan 26 kursi.

Musim semi Arab yang membawa angin segar demokratisasi dinilai banyak ahli tidak berjalan dengan baik. Menurut Zuhairi Misrawi, seorang ahli Kajian Timur Tengah, dalam detik.co, menyatakan bahwa Tunisia sebagai negara pioneer Arab Spring pun tidak bisa bangkit dari bayang-bayang keterbelahan politik. Ia juga menyatakan bahwa Tunisia telah berhasil mengadakan pemilu yang sukses, terbukti dengan terpilihnya presiden dari kalangan independen, Kais Saied, sebagai bentuk ketidakpercayaan rakyat terhadap elite politik dan konglomerat. Sebelumnya, warga sudah menjatuhkan pilihan bagi sosok dari partai politik, baik dari kelompok Islamis maupun nasionalis, tetapi mereka belum mampu memenuhi harapan warga.

Terpilihnya Kais Saied sebagai presiden dari kalangan independen nyatanya tidak serta merta mengentaskan Tunisia dari krisis politik, ekonomi dan sosial. Hal ini terbukti dari peringatan sepuluh tahun Arab Spring di Tunisia yang diwarnai aksi demonstrasi rakyat terhadap kegagalan pemerintah menangani Covid-19 serta kelesuan ekonomi yang mendalam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun