Mohon tunggu...
Egi Sukma Baihaki
Egi Sukma Baihaki Mohon Tunggu... Penulis - Blogger|Aktivis|Peneliti|Penulis

Penggemar dan Penikmat Sastra dan Sejarah Hobi Keliling Seminar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Survei LIPI: Evaluasi dan Tantangan Masa Depan Demokrasi Indonesia

4 September 2019   19:43 Diperbarui: 4 September 2019   19:47 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para Pembahas Hasil Survey. Dok. Pribadi

Pemilihan Umum (Pemilu) serentak lima kotak dari tingkat DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPD RI, DPR RI dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 telah berlalu. 

Presiden dan Wakil Presiden terpilih telah ditetapkan oleh KPU, begitu juga dengan para anggota Dewan dan untuk tingkat daerah ada beberapa yang sudah dilantik dan diambil sumpah jabatannya.

Momen Pemilu 17 April kemarin cukup banyak menguras tenaga dan emosi anak bangsa. Perbedaan pilihan politik telah membuat skat jurang pemisah hingga dampaknya bisa dirasakan sampai tingkat sosial paling bawah. Para pendukung saling berselisih, mencaci, menyebarkan hoaks bahkan memutuskan komunikasi dan persaudaraan.

Pemilu tahun ini terasa sangat berat karena hampir menguras semua perhatian masyarakat. Hampir dalam obrolan setiap hari baik di media sosial dan interaksi sosial nyata di lingkungan keluarga, teman, kantor, pendidikan, dan masyarakat, persoalan politik dan pemilu menjadi topik yang selalu diperbincangkan. 

Gejolak keterbelahan masyarakat yang terpusat karena perbedaan pilihan politik, menjamurnya hoaks dan insiden kekelahan yang mengakibatkan beberapa petugas KPPS meninggal dunia adalah  peristiwa yang amat disayangkan. 

Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI pada hari Rabu, 28 Agustus 2019 bertempat di merilis “Survey Pasca-Pemilu 2019: Pemilu Serentak dan Konsolidasi Demokrasi di Indonesia” yang mereka lakukan sebagai bahan evaluasi dan saran untuk perbaikan pemilu di masa yang akan datang.

Survei yang dilakukan dibagi dalam dua jenis yaitu survey publik dengan jumlah responden 1.500 orang  yang dilakukan pada tanggal 27 April – 5 Mei 2019, dan survei tokoh yang meliputi akademisi, politisi, jurnalis senior, pengurus asosiasi penguasaha.

Tidak hanya itu, ada tokoh agama, budayawan, tokoh gerakan perempuan, NGO, dan pemuda di 5 kota Jakarta berjumlah 39 orang, Padang berjumlah 20 orang, Pontianak berjumlah 20 orang, Surabaya sebanyak 20 orang, dan Makassar sebanyak 20 orang.  

Total semuanya 119 orang yang dipilih dengan cara purposif berdasarkan pertimbangan tim terhadap kompetensi dan keterwakilannya. Survey tokoh dilakukan secara tatap muka pada tanggal 27 Juni – 8 Agustus 2019.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Bagaimana Kelanjutan Demokrasi dan Pemilu Serentak di Indonesia

Terkait dengan proses pelaksanaan pemilu serentak lima kotak yang dilaksanakan 17 April, berdasarkan hasil survey ditemukan data bahwa 74% publik dan 86% tokoh menganggap bahwa pemilu serentak  lima kotak menyulitkan bagi pemilih. 

Bahkan, 82% para tokoh menyatakan bahwa pemilu harus diubah. Terkait pertanyaan bahwa bahwa pemilu 2019 lebih banyak terpusat pada pilpres dibandingkan pileg, 96 tokoh mengiyakan. 

Bahkan 43,5% menganggap adanya pembelahan di masyarakat akibat pendukung Jokowi dan Prabowo, yang menurut mereka termasuk ancaman bagi keutuhan bangsa. 

Mengenai pemilu serentak, Syamsuddin Haris  menyatakan bahwa skema yang diputuskan oleh MK dan diadopsi uu 17 pemilu serentak 5 kotak berbeda dengan skema yang direkomendasikan dia dan beberapa orang dari beberapa lembaga, tokoh dan komunitas yang memisahakan pemilu serentak nasional (Presiden, DPR dan DPD), dan pemilu serentak lokal (Kepala Daerah, DPRD Kabupateen/Kota dan DPRD Provinsi). 

Ia menjelaskan bahwa yang penting untuk diubah adalah sistem pileg dan presiden karena itu menjadi faktor utama meluas dan masifnya politik uang. Mekanisme ambang batas pencalonan presiden menimbulkan pembelahan poltik.

Titi Anggraini  memberikan pernyataan bahwa desain pemilu serentak tahun ini merupakan pemilu yang diintervensi oleh lembaga peradilan yaitu MK. Adanya pemilu serentak menurutnya menjadi pemilu yang melelahkan tidak hanya bagi pemili, tapi juga baagi peserta pemilu dan penyelenggara pemilu. 

Belum lagi dengan adanya ambang batas yang dinaikan menjadi 4% membuat partai politik sulit membangun gagasan dan kaderisasi sehingga tidak terjadi dinamika yang kompetitif. Kompetisi yang mereka lakukan diciptakan secara tidak alamiah karena mereka dipaksa untuk pragmatisme. 

Sudah seharusnya menurut Titi desain hukum pemilu kita harus disiapkan dengan matang harus berkontribusi terhadap demokrasi dan pemilu yang demokratis.

Lebih jauh Titi juga mengomentari pelaksanaan pemilu oleh penyelenggara dengan banyak ditemukannya kasus seperti distribusi logistik pemilu yang telat sampai, kerusakan dan lain-lain. 

Penemuan-penemuan itu menurutnya meningkat jumlahnya. Implementasi pelaksanaan pemilu serentak ternyata menyulitkan mengelola administrasi pemilu tidak bisa melayani pemilih dengan baik. Bahkan, untuk kasus surat suara tidak sah juga besar jumlahnya yang disebabkan Karena pemilih lelah atau mengganggapnya tidak penting.

Pengalaman penulis pribadi saat berada di TPS banyak orangtua yang kesulitan untuk menentukan pilihannya. Lembar DPRD Kabupaten lebih mudah, karena di kampung setidaknya ada dua orang yang mencalonkan diri. 

Berbeda dengan saat membuka lembaran berikutnya  seperti DPRD Provinsi, DPD Dan DPR sehingga pilihan yang lebih mudah untuk dicoblos pertama kali adalah kertas suara pilpres yang hanya dua pasangan baru kemudian DPRD Kabupaten.

Saat membuka lembaran kertas suara DPRD Provinsi, DPR dan DPD, penulis sendiri merasa kebingungan Karena ada banyak wajah asing yang muncul di sana. Faktanya, alat peraga kampanye untuk para peserta pemilu di tingkat DPRD Provinsi, DPD dan DPR tidak banyak ditemukan bahkan mungkin tidak ada. 

Sat memilih DPD banyak wajah baru yang asing dan tidak dikenal dari sekian banyak itu hanya satu yang menarik perhatian karena  orang tersebut sering muncul di TV dan setelah momen pencoblosan.

Banyak status di media sosial yang mengalami nasib yang sama mempertanyakan siapa sosok-sosok itu dan mereka memilih sosok yang familiar itu  sebagai anggota DPD meski tidak melakukan kampaye hingga tingkat pelosok.

Wawan Ichwanuddin Koordinator Tim Peneliti Sedang Memaparkan Hasil Survey. Dok. Pribadi
Wawan Ichwanuddin Koordinator Tim Peneliti Sedang Memaparkan Hasil Survey. Dok. Pribadi
Praktik Politik Uang dalam Pemilu

Ancaman serius bagi proses demokrasi kita adalah praktik politik uang. Sayangnya, berdasarkan hasil survei ditemukan masih ada praktik poltik 28-29% masih menerima pemberian uang barang atau jasa.

Dan mereka yang menerima 37% mempertimbangkannya saat memilih termasuk juga tokoh 83% juga mempertimbangkannya. 47,4 % banyak terjadi dan 46,7 memaklumi dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.

Menyikapi hal ini, Djayadi Hanan berpandangan bisa jadi masyarakat kita menganggap bahwa praktik politik uang bukan sesuatu yang salah. 

Ia mencontohkan penelitian yang dilakukan Frederic Schaffer pada masyarakat Sinegal dalam Democracy in Translation yang mencoba memahami posisi uang menurut masyarakat dalam demokrasi. Kesimpulan yang didapatkannya adalah masyarakat menganggap demokrasi itu bagi-bagi rejeki

Selama ini yang ditangkap adalah berupa uang, lantas bagaimana dengan jasa yang marak yang dianggap biasa di tengah-tengah masyarakat. Politik uang mungkin bisa dicegah dan orang tidak mau menerimanya, tetapi bagaimana dengan jasa? Sedangkan kebanyakan jasa yang diberikan oleh para calon dibutuhkan oleh masyarakat.

Ancaman dan Pemanfaatan Politik Identitas

Dari hasil survey untuk permasalahan politik identitas, untuk pembahaaan mengenai memilih wakil rakyat yang berbeda etnis dan agama dengan pemilih, hasilnya publik hampir di atas 50 – 67,5 % tidak mempermasalahkan perbedaan etnis dan agama. 

Sedangkan tokoh 73,9 dan 80,7 mempertimbangkannya. Penggunaan politik identitas dalam pemilu dominan tidak setuju tetapi 32,9 responden setuju isu agama boleh digunakan saat pemilu.

Syamsuddin berpandangan meski agama dipertimbangkan sebagai faktor dalam menentukan pilihan ternyata tidak menjadi referensi responden dalam memilih caleg.

Argumen ini dikuatkan melalui hasil pemilu lalu yang menurutnya menjukkan bahwa partai Islam dan berbasis Islam gagal mengalahkan elektabilitas partai-partai lain perolehan suara mereka justru merosot dibandingkan pemilu 2014.

Dyadi sendiri sepakat bahwa politik identitas berpengaruh dalam pemilu 2019 tetapi menurutnya harus memisahkan antara pilpres dan pileg untuk melihatnya. Dalam pileg, partai berbasis agama tidak meraih suara yang signifikan. 

Politik identitas bisa berpengaruh tapi sangat kontekstual pertama apakah pemilu itu bivolar atau multivolar. Pemilu DKI putaran kedua bivolar. Lalu ada polarisasi yang sifatnya tajam. 2018 tidak terjadi karena partai-partai membuatnya menjadi multivolar. 

Seharusnya ambang batas presiden itu tidak ada agar multivolar tidak jadi bivolar. Dari riset SMRC dan LSI ditemukan ada tiga mengenai politik identitas di masyarakat: Pertama, makin tinggi jabatan yang diperebutkan maka makin tinggi kemauan orang untuk tidak memilih orang yang berbeda dengannya. 

Kalau Bupati boleh, tapi Pesiden enggak boleh sama sekali; Kedua, makin banyak jabatan yang diperebutkan makin tidak masalah. Ini yang bisa menjelaskan identitas tidak berpengaruh dalam pileg; Ketiga, khusus pemimpin tertinggi tingkat ketidak mauan agama pemimpin yang berbeda itu masih sangat tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun