Mohon tunggu...
Ega Tifanur
Ega Tifanur Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa.

Saya ingin belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Klitih Tidak Takut Covid-19! Klitih Marak kembali di Jogja

18 Januari 2021   00:00 Diperbarui: 18 Januari 2021   00:05 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

            Setiap kali membuka timeline di facebook, entah kenapa selalu ada saja berita tentang klitih. Pagi gelap saat saya menulis tulisan ini 14 Januari 2021, penulis masih menemukan berita tentang tertangkapnya rombongan pemuda yang membawa senjata tajam dan terindikasi adalah klitih. Mungkin bagi masyarakat yang tinggal di Yogyakarta dan sekitarnya, kata “Klitih” sudah tidak asing lagi. Entah apa tujuan para pemuda yang bergerombol di pagi hari (biasanya pukul 00.00-03.00 pagi) dengan membawa senjata tajam seperti pedang, celurit, gear motor yang diikatkan dengan sabuk taekwondo dan beragam senjata lainnya.

            Biasanya para remaja klitih sebelum melancarkan aksinya, mereka berkumpul di suatu tempat atau basecamp yang sudah biasanya mereka singgahi. Setelah itu mereka bermabuk-mabuk ria dengan alkohol dan pil koplo yang mereka putar. Saat sudah menemukan kondisi tertentu (kerap disebut nge-fly) atau mabuk parah, nah pada saat itu mereka memulai aksinya dengan berputar-putar dijalanan sambal memamerkan persenjataan mereka pada kalayak umum.

            Uniknya, para rombongan klitih ini berputar-putar di jalanan menggunakan aneka senjata yang mengerikan dan bersiap melukai siapa saja yang ada dihadapan mereka. Namun kebanyakan klitih tidak mengambil barang berharga milik korban. Berbeda dengan begal dan rampok pada umumnya, para pemuda klitih ini biasanya hanya melukai korban dan setelah itu langsung kabur meninggalkan korban. Walau begitu, tetap saja tindakan termasuk kriminal yang seharusnya dibasmi.

            Membaca dari berbagai berita yang beredar, mayoritas klitih yang pernah tertangkap adalah pelajar ataupun pemuda yang berumur kisaran 14 sampai 20 tahun yang artinya dapat dikatakan masih seumuran SMP sampai SMA. Tidak sedikit saat ditanyai para petugas, bocah-bocah klitih ini sering tidak nyambung alias dalam terkontaminasi alkohol dan pil koplo. Kondisi seperti ini sangat memilukan, dimana anak-anak itu yang seharusnya menjadi generasi pemimpin di masa yang akan datang malah berulah seperti ini.

            Fenomena klitih ini tidak bisa dianggap remeh, klitih jelas meresahkan masyarakat Jogja dan semua daerah lain yang memiliki “penyakit” klitih ini. Apalagi masyarakat yang memiliki kegiatan di malam hari, klitih menjadi momok yang sangat mengerikan. “Aku iki wong jirih, wiwit cilik wedi karo dedemit opo meneh pas bengi-bengi neng dalan sepi, saiki sek tak wedeni dudu demit meneh nanging klitih.” Artinya dalam bahasa Indonesia “Saya ini orangnya penakut, dari kecil saya takut hantu apalagi malam-malam di jalan yang sepi, sekarang yang saya takutkan bukan lagi hantu tetapi klitih.” Ujar Fahtur salah satu korban dari klitih yang sempat penulis wawancarai.

            Dari kejadian klitih yang terus mengulang dan terulang ini, tentu saja mambuat masyarakat geram. Masyarakat khususnya jogja yang tergolong menentang keras para remaja klitih ini, tidak sedikit dari mereka yang membuat perkumpulan kecil-kecilan yang mengadakan kegiatan berpatroli di daerahnya masing-masing  bersama dengan petugas keamanan guna untuk mecari dan memerangi para klitih.

            Jogja yang terkenal istimewa dengan orang-orangnya yang ramah dan lemah lembut, seketika tercoreng oleh kegiatan klitih yang dilakukan oleh gerombolan pemuda ini. Ditambah lagi sekarang masa pandemi covid-19 atau dapat dikatakan masa susah, namun empati para pemuda klitih ini mungkin sudah mati. Masyarakat di Jogja mendorong untuk pihak aparat untuk meningkatkan kinerjanya terutama dalam membasmi klitih. Dan tidak luput juga banyak dari masyarakat yang menuntut pemerintahan Jogjakarta untuk mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) khusus klitih, dan memberikan sanksi yang sebesar-besarnya bagi anggota klitih yang tertangkap.

            Melihat geng atau kelompok klitih ini yang mayoritasnya tergolong anak di bawah umur, jika saja kita mengandai kan dari kejadian ini siapakah yang paling disalahkan. Apakah  seharusnya menyalahkan orang tua mereka karena terkesan tidak becus mendidik anak-anak mereka, atau aparat  keamanan lah yang patut disalahkan karena selalu saja kecolongan di wilayah mereka, atau masyarakat harus menyalahkan pemerintah Yogyakarta yang kurang tegas dalam memberikan peraturan dan sanksi yang kurang berat sehingga adik-adik ini mengulangi perbuatan kejinya lagi. Sungguh suatu kondisi yang memilukan bukan?

            Jika kita soroti sekali lagi, tidak sedikit media yang memberitakan, ternyata banyak orang tua dari pelaku klitih adalah dari kalangan ekonomi menengah kebawah dan tidak mengetahui jika anaknya terlibat aksi klitih ini. Kebanyakan para remaja mengaku berpamitan oleh kedua orang tuanya untuk berkunjung ke rumah temannya. Tidak sedikit pula yang berpamitan untuk belajar kelompok. Namun yang mereka lakukan adalah menelusuri jalanan dengan membawa senjata tajam dan bersiap menyerang siapa saja secara bringas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun