Mohon tunggu...
Ega Asnatasia Maharani
Ega Asnatasia Maharani Mohon Tunggu... Dosen - A wanderer soul

Psikolog, Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh studi S3 di International Islamic University Malaysia (IIUM) bidang Clinical Psychology.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan, Konflik, dan Sosialisasi Bias Gender

18 Januari 2021   08:50 Diperbarui: 18 Januari 2021   09:19 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: depositphotos

Sebaliknya anak perempuan terbiasa bermain dalam format 'play' dimana tidak ada tujuan, aturan, dan strategi yang jelas dalam permainan itu. Misalnya bermain pasar-pasaran, anak perempuan akan mengambil perannya masing-masing dan belajar membangun keakraban di sana. Mereka bahkan bersedia mengulang-ulang peran yang sama di hari berbeda. Tidak ada menang-kalah ataupun kompetisi karena selalu ada opsi untuk saling membantu. 

Ketiadaan hierarki dalam pola sosialisasi ini membuat anak perempuan tumbuh dalam pemahaman bahwa kekuasaan di antara sesama perempuan harus ada dalam posisi setara. Adanya kritikan atau kehadiran perempuan lain yang lebih kompetitif akan cenderung ditolak karena tidak sesuai dengan pembagian kuasa yang 'ideal' di antara mereka. 

Di masa dewasanya, ini menyebabkan perempuan cenderung lebih mudah melihat sesamanya sebagai 'musuh' dibanding lawan jenis. Ellemers (2014) dalam artikel ilmiahnya Women at work: How Organizational Features Impact Career Development menuliskan adanya fenomena persaingan tidak sehat antar sesama rekan kerja (women rivalry) di dalam dunia organisasi yang sulit dipatahkan.

"Ketiadaan hierarki dalam pola sosialisasi ini membuat anak perempuan tumbuh dalam pemahaman bahwa kekuasaan di antara sesama perempuan harus ada dalam posisi setara"

Konsep sosialisasi yang berbeda tersebut juga menyebabkan perbedaan cara perempuan dan laki-laki memandang konflik. Bagi anak laki-laki, konflik yang agresif melatih mereka cara bertahan untuk menang. 

Perkelahian fisik pun kadang dipilih untuk menunjukkan posisinya (gain power) dalam hierarki sosial. Jika ia menang secara terbuka dalam pertarungan itu, maka statusnya akan semakin naik. 

Tidak heran jika kemudian banyak Ayah yang menyarankan anak laki-lakinya untuk memukul balik jika diserang oleh temannya. Respon ini besar kemungkinan dipicu oleh nilai yang tertanam di benak Ayah bahwa kemenangan harus diraih secara terbuka.

Sementara pada anak perempuan dimana status sosial seharusnya lebih bernilai setara, menunjukkan agresi secara terang-terangan justru akan merugikan. Serangan agresi secara langsung bisa berdampak buruk sebab target bisa langsung menyerangnya balik. 

Indirect aggression menjadi pilihan yang lebih aman untuk menyatakan kemarahan, sebab secara perhitungan rasio efek/bahaya perilaku agresi tersebut lebih memiliki resiko minimum dengan efek maksimum pada targetnya. Tujuan indirect aggression ini bukan untuk menunjukkan kekuasaan, tapi mengembalikan hierarki ke dalam posisi setara. Maka mau tak mau, ia mesti berlindung di balik anonimitas demi keselamatannya sendiri.

Status Psikologis

Dalam perspektif psikologi, individu yang cenderung memilih indirect aggression sebagai cara merespons konflik termasuk memiliki pola pasif-agresif. Di dalamnya termasuk berbagai perilaku yang bertujuan menyerang orang lain tanpa menunjukkan kemarahan dan frustasi yang sebenarnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun