Pagi tadi, ba'da subuh, telepon di rumahku berdering. Sesuatu yang jarang terjadi.
"Udaa, Inyiak nelpon", jelas isteriku yang paling kamek. Aku yang baru keluar dari kamar mandi bergegas mengangkat gagang berkabel itu. Benar, suara lelaki tua yang sering dipanggil Inyiak (kakek) begitu jelas tertangkap telingaku.
"Assalamu'alaikum ustadz, lah rindu bana Inyiak jo ustadz mah (sudah kangen betul Inyiak dengan ustadz)", kalimat ramah penuh semangat menyentuh hangat gendang telingaku.
"Samo-samo rindu kito Nyiak, apo kaba Inyaik kini?" jawabku mengimbangi keramahannya. Oh ya, lelaki yang kupanggil Inyiak ini adalah seorang pengurus dan juga iman di mesjid Nurul Islam di kawasan Ulak Karang Kota Padang. Mesjid dimana saya satu tahun terakhir ini beberapa kali diminta datang untuk berbagi dengan para jama'ahnya.
(untuk tdk menyulitkan sahabat kompasioner, pembicaaran saya dengan Inyiak, saya Indonesia-kan saja ya).
"Kabar baik ustadz, mewakili jama'ah, kami mengharap ustadz datang maghrib nanti untuk memberikan taushiyah ta'ziah", jelas Inyiak di seberang.
"Maghrib nanti Nyiak?, waduh saya ada acara Nyiak", jawabku agak menyesal. Ma'af, kegemaranku main badminton (jadwalnya ba'da maghrib Rabu malam) membuatku menolak secara halus.
"Ustadz, tolonglah, yang meninggal ini jama'ah mesjid kita, dan juga tokoh panutan. H. A. Karim Mahmudy", desaknya.
Akhirnya saya penuhi permintaan Inyiak. Bukan, bukan karena yang meninggal itu tokoh masyarakat yang membuat saya berubah pikiran. Bukan pula karena mengharap isi amplop yang biasa diberikan sebelum saya berbagi dengan jama'ah. Saya tahu betul berapa isi amplop itu, tak cukup untuk beli bensin 20 liter. Sungguh, saya ingin tahu apa kelebihan hamba yang almarhum itu. Sehingga (sebagaimana keterangan Inyiak) rumahnya tak pernah sepi dari jama'ah yang datang melayat dari berbagai mesjid setelah hampir seminggu ia mengadap Tuhan-nya.
Selesai shalat maghrib di mesjid Nurul Islam, kami jalan kaki menuju rumah duka. Selama perjalanan aku menggali informasi tentang almarhum dari beberapa jama'ah. Bergantian mereka menjelaskan sosok yang kami bicarakan. Tentang ibadahnya yang demikian tekun, bahkan saat uzur dan sakit, ia masih berjama'ah di mesjid, wakau hanya sambil duduk. Tentang semangat dan aktifitasnya yang tak pernah surut membangun "kehidupan" beberapa mesjid di Ulak Karang dan di kampungnya. Tentang cara ia memperlakukan semua orang. Tentang kronologis kematiannya. Tentang .........  dan tentang .......... dan banyak lagi.
Semua membuat saya jadi "iri", semua membuat saya "cemburu", saya yang dipanggil ustadz oleh sebahagian orang, belum apa-apa dibanding ia.