[caption caption="Sumber: paperblog.fr"][/caption]Pada Hari Kartini lalu, kita bisa membaca karangan dari banyak orang yang menyampaikan harapan untuk wanita Indonesia. Masih pada tanggal yang sama, belahan dunia turut menyampaikan doa dan juga harapan kepada Ratu Elisabeth II pada ulang tahunnya. Gayung bersambut, esoknya dengan mata melebam barangkali, beberapa dari kita turut menghayalkan masa depan bumi.
Seandainya kita menyelediki lebih dalam, angka-angka dalam kalender dipoles oleh berbagai perayaan. Di Indonesia perayaan semisal Idul Fitri, Natal, Nyepi dan perayaan agama lain paling banyak dirayakan. Belum lagi kalau kita melihat setiap daerah, ada satu atau beberapa hari peringatan dalam setiap tanggal.
Bisa dibayangkan, setiap hari seluruh umat manusia di muka bumi, tanpa pandang bulu, selalu berharap. Ada yang meratap tangis, ada pula yang bersukacita. Kedua ini selalu terjadi dalam hari demi hari.
Sederhananya saja, setiap hari masing-masing orang berulang tahun. Saya belum menemukan data yang akurat, apakah setiap orang di dunia ini merayakan ulang tahun atau bahkan tak mengingatnya. Namun, sekali lagi setidaknya satu orang menyampaikan harapannya di setiap hari yang kita lewati.
Lalu, apa harapan lain selain doa panjang umur yang orang-orang sampaikan hari ini? Mungkin orang Indonesia semakin gemar membaca. Hari Buku Sedunia jatuh pada hari ini, Sabtu (23/4). Persiapkan pula harapan lainnya karena besok adalah Hari Angkutan Nasional.
Rasa-rasanya, kita tak perlu beralasan jenuh dengan dunia setiap hari. Seandainya semua hari raya tersebut dijalankan penuh makna, kita mendapatkan perubahan. Dunia menuju perbaikan atas semua tragedi yang ditinggalkannya pada masa lalu. Namun, kita tak usah memaksa untuk menyebut dunia baik-baik saja. Tragedi masih saja berlanjut.
[caption caption="Sumber: bibliosekcat.wordpress.com"]
Hari raya berubah menjadi hari tragedi. Kita pun berbohong bahwa telah ada sukacita di hari ini. Tiada berterima hati bahwa tawa atau senyum pantas hari ini. Kemudian agar lepas dari tragedi, kita berlari dan melupakannya. Orang tak mudah menerima bahwa hidup adalah tragedi.
Tengok saja, seorang gadis belia bermimpi bahwa orang sepertinya pasrah menerima takdir sebagai perempuan. Kungkungan dan tradisi masyarakat membenam cita-citanya. Dari sini berawal sebuah cita-cita emansipasi bagi kaum perempuan, sampai sekarang berjalan dalam perjuangan.
Beruntunglah orang yang berjalan tanpa pengetahuan. Di atas kasurnya, dia bermimpi indah atas anugerah hari ini. Besok pun akan dibayangkannya demikian. Para ibu-ibu muda yang tak menyadari kungkungan tetap menerima suatu keadaan bahagia dalam keyakinannya.
Celaka bagi orang yang mengetahui, dia telah mengecuti dirinya. Dia telah mengetahui takdirnya dan bergegas untuk melawan. Dalam kutukkannya kepada dunia, dia terlebih dahulu mendapat nista dari orang-orang yang mempercayai kesucian masa depan.