Kondisi ini tentu bukan karena kualitas akademi yang buruk. Banyak pemain muda PSG sebenarnya memiliki bakat yang layak diuji di level tertinggi.
Namun, realitasnya sering membuat pemain akademi menemukan nasib yang tidak menentu. Selama satu dekade, PSG lebih memilih pemain matang dan berpengalaman. Semua ini terjadi karena tujuan utama klub menjuarai Liga Champions.
Di sini, tuntutan terhadap kualitas pemain menjadi nomor satu. Tidak peduli, apakah itu pemain akademi klub atau dari klub lain. Semuanya dinilai secara objektif. Akademi menjadi semacam bayangan yang menggendong nama besar klub, tetapi jarang dipandang serius.
Masuknya Zaire-Emery pun merupakan suatu yang istimewa. Dia berhasil menembus skuad utama bukan karena sistem yang konsisten mempromosikan pemain muda, melainkan karena bakatnya.
Sama seperti Kimpembe, Zaire-Emery hadir bukan sebagai hasil perencanaan, melainkan sebagai semacam kebetulan yang tidak bisa dihindari. Kebetulan ada pemain jago, jadi tinggal ambil.
Tetapi bila akademi hanya bergantung pada kebetulan, maka fungsi pengembangan dan pembinaan pun terasa percuma. Akademi idealnya adalah 'pabrik' untuk memberikan pemain setengah jadi yang akan disempurnakan di klub utama, bukan mencetak pemain siap pakai.
Di titik inilah muncul paradoks, PSG memiliki salah satu akademi terbaik di Eropa, tetapi hanya sedikit dari produk akademi itu yang mendapat kesempatan nyata di tim utama.
Jika kondisi ini berlanjut, risiko terbesar adalah pemain muda mulai kehilangan kepercayaan.Â
Pemain akademi mungkin ragu menandatangani kontrak professional. Beberapa di antaranya memilih mencari jalan lain di klub yang lebih memberi ruang. Xavi Simons adalah salah satu contoh terbaru.Â
Belum lagi berbicara tentang titis Paris lainnya yang merasa kecewa tidak mendapat waktu regular di skuad utama.
Berharap Perubahan Terjadi Setelah PSG Juara Liga Champions
Situasi sedikit berbeda. PSG sudah meraih trofi Liga Champions. Artinya, pencapaian selama belasan tahun sudah terwujud.