Ini lumrah dalam debat ilmiah dengan syarat dua pihak yang berdebat diberi kesempatan untuk menyampaikan argumen mereka. Masing-masing berdebat keras mempertahankan argumennya.
Berbeda dengan perploncoan di mana pesan komunikasi disampaikan dalam satu arah yaitu hanya berasal dari suara panitia atau pihak kampus. Mahasiswa cukup menjadi partisipan.
Ketika ruang diskusi itu tertutup tanpa melibatkan peran aktif mahasiswa baru, maka media sosial akan membuka itu semua.Â
Dan sayangnya, pesan yang keluar di media sosial, kebanyakan kasus-kasus perpeloncoan yang tidak pantas dan tidak bersuka cita. Nuansa semacam ini yang terus menghantui ospek di Indonesia. Terlebih saat Indonesia mengalami krisis akibat pandemi sekarang.
Krisis yang sama-sama kita sadari telah menyebabkan masalah finansial serius kepada tiap individu, ancaman kesehatan yang sewaktu-waktu siap menyergap manusia dan lain sebagainya.
Jikapun secara kebetulan si mahasiswa senior bertemu mahasiswa baru yang bersikap sopan dan suka meminta maaf, lalu si senior jengkel karena sikap demikian, maka menjadi pertanyaan, apa yang sebenarnya ingin diharapkan selain melanggengkan kebiasaan bahwa si senior itu gila hormat, merasa paling benar dan maunya menguasai.
Pandemi seharusnya menjadi momentum untuk menumbuhkan rasa solidaritas antarmahasiswa. Jikalau peka, maka si senior dan petinggi kampus mestinya menyadari bahwa tekanan realita hidup itu sudah keras.Â
Dan dekat-dekat ini, kita bersiap untuk ancaman resesi. Maka, tidak perlu membuktikan ketangguhan orang sebab kualitasnya tidak jauh sia-sia dengan menggarami air laut.