Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indonesia Negara Maju dan Persoalan Berpikir Kita

28 Februari 2020   10:50 Diperbarui: 28 Februari 2020   11:01 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Jalan Gatot Subroto, Jakarta. (Dok. Pribadi/Efrem Siregar).

Saya berangan-angan Indonesia, kapan Indonesia menjadi negara maju! Sekalipun Amerika Serikat melalui Office of The US Trade Representative (USTR) baru-baru ini mengeluarkan Indonesia dari daftar negara-negara berkembang, hal ini belum menjawab tuntas cita-cita itu. Berita kelaparan bocah di Tapanuli Selatan yang terjadi beberapa hari lalu seakan mengaburkan klaim tersebut.

Memang kelaparan satu dua orang adalah potret kecil yang tidak menggambarkan keseluruhan realita. Tetapi di sinilah nalar seorang Indonesia Maju sedang diuji: bagaimana dia mampu menangkap sebuah tragedi dan ironi.

Itu satu hal yang menggelisahkan sebagian besar orang Indonesia. Alih-alih membicarakan soal kemanusiaan, justru yang terlihat adalah kebebalan. Lihat bagaimana pemimpin kita hari ini menyembunyikan niat baik sehingga yang muncul ke hadapan publik adalah sebuah keanehan, ke-tidak-masukakal-an. Kita dibawa jauh dari realita karena tidak pernah tahu jalan mana yang akan dilewati untuk sampai pada tujuan.

Contoh saja, bagaimana Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan justru lebih berfokus pada penanganan pasca-banjir, namun kurang sigap mengantisipasi meski data dan informasi sudah cukup memberitahu potensi datangnya banjir. 

Mengapa niat baik selalu berujung pada musibah? Kita pun mempunyai watak yang serupa, senang memberi bantuan kepada orang lain yang tertimpa musibah, atau membongkar muslihat suatu organisasi.

Tidak ada yang salah dari itu. Tetapi tragedi mengajarkan manusia bagaimana seharusnya banjir tidak perlu terjadi, kemiskinan bisa dihilangkan, menegakkan hukum untuk keadilan. Hal yang terdengar mustahil, namun lebih baik ketimbang menerima secara apa-adanya tanpa perlawanan.

Krisis hari ini adalah perlawanan terhadap ego masing-masing yang terlampiaskan dalam kode-kode dan bahasa di media sosial. Semua orang mengambil pendirian teguh, benar atau salah adalah perkara terakhir. Pemenang adalah suara terbanyak. Dan lebih parah dari itu semua, cerita terbaik dengan suara terbanyak. 

Ini juga saya maksudkan kepada para pendukung Presiden Joko Widodo dan pemimpin lain untuk berhenti memberikan pembenaran terhadap sesuatu yang memang perlu dikoreksi. Pembenaran akan menghasilkan kesalahan kedua.

Angan-angan saya terhenti. Apa ini harga pantas yang diterima Indonesia? Tidak. Saya masih optimis, asalkan masing-masing diberi kesempatan. Pedagang kecil mendapat jaminan pemberdayaan, modal dan pembelian sehingga kita bisa berkompetisi secara lebih adil. Sebuaj quick wins dalam menghadapi dampak virus korona terhadap perekonomian Indonesia.

Tetapi, corak dan watak manusia adalah penggerak utama. Manusia Indonesia harus bertindak berani, tidak menunggu datangnya dermawan, memahami tragedi adalah sebuah kelahiran bagi kemanusiaan, selalu berinisiatif untuk menyampaikan kebenaran secara eksplisit dan terukur. Semua itu diawali dengan kemampuan berpikir, persaudaraan dan perlawanan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun