Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aku adalah Kebenaran, yang Matinya Bahagia

6 Januari 2020   01:08 Diperbarui: 6 Januari 2020   01:10 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: unsplash.com/@greystorm)

Kepala saya sesak memikirkan kebenaran. Apa itu kebenaran? Kasus semacam ini amat menggelisahkan banyak orang. Jika dirangkum, modelnya begini. Kamu menganggap ini adalah benar, namun seribu orang lain justru menganggapnya salah.

Lalu, mana yang benar? Saya atau seribu orang itu? Andaikan saya benar, namun reaksi pertama saya, tentu dengan kekagetan melongo, menunjukkan bahwa ah, jangan-jangan kebenaran saya belum tepat sepenuhnya. Jangan-jangan saya keliru. Sialnya, saya tak mungkin menuruti kehendak seribu orang yang bertentangan dengan saya.

Kebenaran adalah sebuah kemutlakan. Di alam ide, sesuatu yang benar adalah final yang tak bisa digugat, ini sebuah kewajaran. Namun, realita punya mesin absolut yang mengatakan bahwa kebenaran memiliki banyak versi yang melingkar tanpa tepi. Ini ungkapan klise yang menurut saya pun sangat keliru.

Kebenaran seperti itu adalah perumpamaan tentang jalan bercabang yang banyak bukan main untuk sampai kepada kebenaran, yang satu. Tak mungkin supir mengantar penumpang menuju dua tujuan akhir. Kebenaran tetaplah satu, tak mendua.

Sastrawan Prancis yang termasyhur di awal abad ke-20, Albert Camus, menyajikan kebenaran dengan manis. Tiada kebenaran apapun selain makna yang sia-sia. Hidup adalah absurd yang diisi oleh keindahan dengan menentang kebenaran (baca: kelaziman).

Maka, dua karya sastranya, pertama novel Orang Asing dan naskah drama Caligula dimulai dengan pembukaan yang menentang moral di masyarakat. Mersault dalam Orang Asing itu digambarkan melayat sang ibu yang mati tergelatak di atas peti, sambil menikmati secangkir kopi, sementara dihiraukannya kerumunan pelayat yang berduka.

Kematian orang tercinta diungkapkan lewat sebuah kenikmatan dan ketenangan. Sama hal ketika Caligula sang Kaisar ternyata jatuh cinta kepada Drusilla, saudari kandungnya.

Mersault dan Calligua layak menjadi orang gila. Akan tetapi, menyusuri kehidupan mereka, nampaklah bahwa mereka hidup dalam kebenarannya sendiri. Masyarakat boleh menyebut mereka gila, namun kebenaran tetap ada di dunia, yaitu kebenaran menurut 'aku' si Mersault dan Caligula.

Obsesi pada cinta dan kehidupan sempurna membawa manusia terjatuh keragu-raguan. Dia terlebih dahulu harus menyangkal kebenaran 'obsesi'. Ketika dia menjalaninya, maka hidup yang absurd akan terasa sangat memesona. Dengan atau tanpa obsesi, manusia akan menuju kebenaran yang sejati yaitu kematian.

Bagi mereka yang hidup, kematian Mersault dan Caligula yang bertindak kejam memenuhi obsesinya diakhiri dengan dan tawa bahagia. Setelah saya menutup lembaran novel itu, dengan rasa puas bahwa setelah kematian orang-orang biadab dan tak bermoral, semua kehidupan masyarakat menjadi normal. Lantas saya merenung: apa gunanya saya berbahagia dengan lenyapnya kebiadaban mereka? Saya menengok ke dalam, jangan-jangan Mersault dan Caligula itu adalah saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun