Jikapun ada aksi, itu hanya keriuhan tentang pembagian kue politik atau kursi-kursi pemerintahan. Di saat itu, politisi kita galak benar. Sementara masyarakat akan dapat apa? Begitu kira-kira pertanyaan lugunya.
Jokowi ingin semua jajaran kabinetnya bergerak lincah dan cepat. Sebuah pertanyaan lagi, apa sih yang sebenarnya harus kita kejar? Terlalu banyak. Mungkin masih mengawang-awang. Investasi? Hehe, kok terkesan latah untuk menyaingi Vietnam yang sudah berlari kencang.
Lagi-lagi, kita harus menunggu. Masih terlalu dini. Paling terbaru, Omnibus Law sedang disiapkan. Ya, semacam 'keistimewaan' untuk meniadakan UU yang dianggap menghambat investasi. Selebihnya kita menerawang, apa yang betul-betul dikehendaki Presiden Jokowi?
Indonesia adalah negara, bukan dibangun dalam bentuk perusahaan. Orientasi pada hasil adalah satu keniscayaan. Namun, kita memiliki tuntutan lain, yaitu keadilan dan kesetaraan.
Demokrasi, bahwasanya rakyat adalah pemilik negeri ini. Kekuasaan ada di tangan rakyat. Ini sekadar mengingatkan saja agar tidak semua pekerjaan diikuti hasrat yang menggebu-gebu.
Oposisi akan diisi oleh rakyat, mereka yang berada di luar pemerintahan. Maksud saya, publik menaruh pada oposisi yang mencintai kebebasan, mereka yang memberi kesempatan, dan lebih dari itu, mereka yang benar-benar peka melihat tuntutan publik.
Hindari percintaan dalam politik. Toh nyatanya memang, sebagian di antara kita, rakyat melihat pemimpin seperti kekasih hati. Kita mencintai mereka. Konsekuensinya, satu waktu kita bisa membencinya kembali.Â
Cinta dan benci, sebuah kisah dari negeri dongeng. Padahal kita yang bernegara ini harus diatur melalui kontrak politik.
Belum lagi melihat tuntutan orang yang jatuh cinta yang kadang tidak masuk akal. Maka dari itu, Indonesia harus dibawa kembali ke akal sehat. Bernegara berarti ada rakyatnya!