Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menentang Cara Bersyukur Orang Indonesia

9 Juni 2019   03:10 Diperbarui: 9 Juni 2019   03:35 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya cukup sering membaca curhatan pegawai tentang nasibnya di tempat bekerja. Ada yang blak-blakan mengisahkan laku atasan yang genit, beberapa orang juga tidak sungkan membagikan nominal gaji yang diterimanya per bulan.

Ada yang membikin bola mata terbelalak, ada juga yang membasahi hati.

Baru-baru ini, pertanyaan mengenai kelayakan gaji muncul di platform Quora.

Apakah gaji tiga juta itu termasuk layak? Begitulah pertanyaannya.

Pertanyaan ini memanen banyak jawaban. Tidak sedikit jawaban menyarankan penanya agar lebih banyak bersyukur ketimbang mempersoalkan besaran gajinya.

"Yang paling susah itu bersyukur, merasa cukup. Melihat sekitar jangan yang lebih tinggi, namun lihatlah pemulung, tukang sampah..." demikian pendapat seseorang.

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa dengan melihat nasib orang-orang yang kurang beruntung, maka seseorang akan mengerti pentingnya bersyukur dengan gaji Rp3 juta.

Namun, saya sebaliknya. Gaji sebesar Rp3 juta bagi saya tergolong kecil. Saya akan membahas alasan ini di tulisan berbeda.

Yang ingin saya tanggapi yaitu takaran rasa bersyukur kita.

Saya setuju bahwa manusia mesti bersyukur.

Ungkapan syukur dapat diartikan sebagai bentuk terima kasih sekaligus penghormatan kepada Yang Maha Kuasa. Kita mendapat jodoh, kita bersyukur kepada Tuhan. Kita memperoleh pangkat baru, kita bersyukur.

Namun, dengan mengucapkan rasa syukur, hal ini tidak langsung dimaknai sebagai bentuk berpuas diri dan menerima segalanya secara apa adanya.

Sikap pasrah, menurut hemat saya, akan menjadi benar apabila dibarengi dengan adanya kesungguhan dan kerja sebelumnya. Ada proses besar yang telah kita lakukan sungguh-sungguh sebelum kita memutuskan pasrah.

Saya teringat pada perumpaan tentang talenta yang dikisahkan dalam Injil. Seorang pemuda yang berhasil mengembangkan talentanya lebih diberkati ketimbang seorang pemuda yang berdiam diri dan tidak mengembangkan talentanya.

Tuhan menciptakan semua manusia dengan talenta masing-masing. Karena itu, saya mensyukuri talenta yang diberikan kepada saya.

Selanjutnya, saya harus mengembangkan talenta saya. Inilah cara saya mensyukuri pemberian Tuhan.

Lalu bagaimana dengan orang lain yang tidak seberuntung saya? Mengapa saya begitu hausnya akan uang?

Saya ingin kaya, namun pada saat yang sama saya ingin orang lain dapat menjadi kaya. Ini lebih tinggi ketimbang mensyukuri mendapat gaji Rp3 juta per bulan.

Orang mungkin akan mencemooh, "mimpi loe kejauhan." Inilah standard berpikir Indonesia yang umum beredar: takut kepada mimpinya sendiri.

Seandainya saya kaya, saya akan berdayakan modal dan pengetahuan saya untuk membantu mereka yang kurang beruntung. Pengetahuan adalah kekayaan yang tidak bernilai.

Begitulah cara saya melihat orang di sekitar saya. Kita tidak boleh ragu untuk kaya. Sebab ada perjuangan dan proses berpikir yang akan dilewati.

Kita bersyukur bukan karena didorong oleh rasa prihatin atau takut manakala akan mengalami nasib seperti orang-orang yang kurang beruntung tadi.

Masalah kekhawatiran, serahkan kepada Tuhan.

Kita bersyukur kepada Tuhan sebab dia masih memberikan kita kesempatan hidup. Dia memberikan kebebasan kepada negeri ini agar saya dapat berpikir bagaimana saya dapat membangkitkan mereka yang saya anggap miskin!

Lalu bagaimana seandainya saya akan diberhentikan dari pekerjaan? Setelah itu saya susah mendapat pekerjaan baru, dari mana saya memperoleh gaji?

Tuhan tidak akan melepaskan umat-Nya masuk begitu saja ke dalam kesusahan. Orang-orang yang Anda bantu sebelumnya tidak akan melupakan perbuatan Anda.
Poin pentingnya adalah bersyukurlah bahwa Tuhan memberikan saya keberanian untuk membangun persahabatan tulus dan membuka hati orang untuk mau membantu sesamanya yang sekarang mulai langka ditemukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun