Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Setelah Menang, Adakah "Jokowi Effect" Jilid II?

21 Mei 2019   21:22 Diperbarui: 21 Mei 2019   21:46 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi (Foto: Kompas TV)

Jokowi effect adalah sebuah istilah untuk menggambarkan dampak politik dan ekonomi Indonesia saat ditetapkannya Jokowi sebagai capres yang kemudian berhasil memenangkan Pilpres 2014.

Lima tahun lalu, Jokowi yang maju sebagai capres RI, meninggalkan jabatan Gubernur DKI Jakarta yang belum genap dua tahun melekat padanya. Dia mengubah kontestasi politik saat itu. Jokowi digambarkan sebagai sosok pemimpin yang sederhana, bersih, tidak korupsi, dan tidak menyukai proses birokrasi yang ribet.

Maka, saat namanya diumumkan sebagai calon presiden 2014-2019 dari PDIP, pasar menjadi bergairah. IHSG yang saat itu berada di zona merah level 4717 melejit 3,2 persen ke level 4878, dikutip dari Kontan.co.id (14/4/2014).

Nilai tukar rupiah pun menguat menjadi Rp11.350 per Dollar AS yang sebelum deklarasi menyentuh Rp11.411 per Dollar AS. Investor asing menyambut baik pencalonan Jokowi saat itu. Beberapa analis ekonomi mengatakan sosok Jokowi merupakan pemimpin yang bersahabat. Budaya anti-korupsi dan perampingan alur birokrasi menjadi tolok ukur investor untuk menanamkan modal mereka.

Sinyal baik saat itu juga ditambah dengan beberapa alasan lain yang dianggap sangat mendukung iklim investasi. Dikutip dari Kompas.com, investor asing dinilai masih memandang Indonesia sebagai salah satu destinasi investasi paling menarik. Ada bonus demografi yang akan mendorong konsumsi dan produktivitas perekonomian.

Euforia ekonomi saat itu kurang lebih sama dengan situasi politik yang terlihat bergairah lewat kehadiran 'new hope' Joko Widodo: pemimpin yang merakyat dan sepak terjangnya nyaris bersih dari catatan korupsi.

Lalu apakah Jokowi Effect Jilid II terjadi lagi?

Jawabannya: tidak ada lagi Jokowi Effect jilid II. Selain konteks yang berbeda, relevansi Jokowi Effect terhenti lewat statusnya sebagai calon petahana. Hampir tidak ada prospek ekonomi yang berubah fudamental sebagaimana pelaksanaan Pilpres 2014 lalu. Ditambah lagi, Pilpres 2019 merupakan Pilpres ulangan karena Jokowi berhadapan kembali dengan Prabowo.

Selama lima tahun, Jokowi telah merampungkan sejumlah pembangunan infrastruktur di antaranya, Jalan Tol Trans Jawa dan Sumatera, bandara baru di daerah, tol laut, pembangunan MRT yang mendukung iklim investasi di Indonesia.

Pendapat lain diberikan Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar B Hirawan. Dikutip dari Detik.com (21/5/2019), Fajar menilai bahwa Jokowi tidak menunjukkan gelagat anti-asing meski pemerintah berhasil mengambil alih Blok Rokan dan Mahakam serta pengambilalihan saham Freeport sebesar 51,2 persen.

CNBC Indonesia juga meyakini tidak ada lagi Jokowi effect pasca diumumkannya rekapitulasi suara Pilpres 2019 dini hari tadi. Sebaliknya, nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS justru melemah. Satu Dollar AS berada di kisaran Rp14.400 pada Selasa (21/5/2019) pukul 12.00 WIB melemah 0,14 persen dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya.

Investor pun tampaknya akan tetap wait and see untuk memastikan situasi politik dalam negeri pascapilpres kembali normal meski Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup hijau pada sore ini, menguat 44,25 poin (0,74%) ke 5.951,372.

Tantangan ke depan

Jokowi setidaknya masih akan berkutat pada persoalan ekonomi dalam negeri. Modal tenaga kerja akan diperkuat dan akan dijadikan prospek jangka panjang sebagaimana tema kebijakan fiskal 2020 APBN untuk Akselerasi Daya Saing melalui Inivasi dan Penguatan Kualitas Sumber Daya Manusia.

Namun, perhatian lebih serius setidaknya perlu ditujukan untuk mencermati neraca perdagangan Indonesia pada April 2019 yang mengalami defisit 2,50 miliar Dollar AS yang terparah sejak Indonesia merdeka.

Dikutip dari rilis pers Bank Indonesia, Defisit tersebut dipengaruhi oleh peningkatan impor migas dari 1,52 miliar dolar AS pada Maret 2019 menjadi 2,24 miliar dolar AS pada April 2019. Peningkatan terjadi pada seluruh komponen, yakni hasil minyak, minyak mentah, dan gas, seiring dengan peningkatan baik harga impor maupun volume impor minyak dan gas.

Sementara itu, ekspor migas tercatat menurun dari 1,14 miliar dolar AS pada Maret 2019 menjadi 0,74 miliar dolar AS pada April 2019. Penurunan ekspor migas terutama terjadi pada komponen hasil minyak dan gas, sejalan dengan menurunnya volume ekspor kedua komponen tersebut.

Sejauh ini, Jokowi menanggapi persoalan defisit neraca perdagangan dengan penguatan hilirisasi, termasuk penguatan produksi barang substitusi impor seperti avtur yang dikatakan Jokowi tidak perlu lagi dilakukan pada bulan depan.

Menarik untuk menanti langkah strategis dari Jokowi di periode keduanya sebab ia saat ini tidak lagi berada di level penyebab atau efek tetapi boleh dikatakan ‘harus’ menjadi sumber referensial kebijakan ekonomi Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun