Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Saltik (Typo) Bisa Menjangkiti Siapa pun Termasuk Orang Cerdas, Mengapa Demikian?

25 Maret 2019   05:20 Diperbarui: 25 Maret 2019   06:14 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Suatu waktu, si Fulan yang dikenal sebagai mahasiswa cerdas dan berakal sehat meletakkan tugas paper bertajuk Psikososial di meja dosen. Dengan wajah ceria dan senyum lebar-lebar, Fulan merasa percaya diri bahwa dosen akan menggoreskan nilai A++++ di sampul depan.

Beberapa hari setelah itu, ayam berkokok menandakan sang fajar telah menyingsing. Fulan bergegas beranjak turun dari kasur, melompat hingga mendarat di atas ubin kamar mandi. 

Ia memang sangat antusias, padahal jam perkuliahan sebenarnya akan dimulai pukul 09.00 WIB. Seolah kecerdasan adalah pengakuan tertinggi manusia, dia ingin menjadi orang pertama yang merayakan nilai tertingginya.

Empat jam berlalu saat Fulan duduk manis menyambar tatapan dosen yang datang ke kelas dengan wajah datar. 

Namun, alangkah terkejutnya batin si Fulan ketika tugas itu mendarat di tangannya. Sebuah coretan merah bertuliskan B terpampang di sampul tugasnya. Ia sangat kecewa saat paper yang digarapnya tiga hari dua malam suntuk justru dihargai dengan harga yang tidak pantas, menurutnya.

Luntur sudah ketampanan si Fulan yang terpancar dari kecerdasan yang mencerahkan itu. 

Ia memberontak kepada dosen. Apa Fulan melakukan kesalahan metode atau analisis?

Tidak. Analisanya sangat akurat dan mudah dipahami.

Lalu mengapa dia diberi nilai B?

Jawabannya: typo alias salah ketik.

Si Fulan boleh saja membela diri bahwa perlakuan ini sangat tidak adil. Namun, dosen memiliki tolak ukur yang tidak dapat ditoleransi: saltik. Kekuasaan ada di tangan pemberi nilai. Dosen menang, Fulan KO.

Fulan sama seperti beberapa orang di antara kita. Mana yang lebih utama? Kesempurnaan ketikan atau penyampaian ide yang mudah dipahami? 

Ini akan membawa debat tidak berujung. Ada yang dapat memakluminya, ada yang tidak sama sekali. 

Namun, kesempurnaan adalah harga mati. 

Kalaupun Anda masih berbaik hati menoleransi saltik, perhatikan bahwa gejala saltik sangat berpotensi besar memberikan ambiguitas makna, bahkan dapat melencengkan makna bahasa, semisal saltik pada kata nabi di mana jari justru menekan tombol 'b'. Ini sangat fatal.

Seseorang yang memiliki kecerdasan dan ketajaman analisis sekalipun belum tentu menjamin dirinya bebas dari jeratan saltik.

Persoalan saltik ini pernah diulas oleh jurnalis Wired, Nick Stockton, dalam artikel yang ditayangkan pada Agustus 2014 silam.

Anda sudah mengoreksi tulisan dan yakin semuanya telah sempurna. Namun, toh, pada kenyataanya, tetap ada saltik di sana.

Atas masalah itu, Stockton pun mengajukan pertanyaan, mengapa kita bisa melewatkan detil kecil yang menjengkelkan ini?

Ia mencoba mencari penjelasan ilmiah dan menemukan argumen yang tepat dari seorang psikolog University of Sheffield di Inggris, Tom Stafford, yang pernah mempelajari masalah saltik.

Alasan saltik, kata Stafford, bukan karena kita bodoh atau ceroboh.

"Ketika Anda menulis, Anda mencoba menyampaikan makna. Ini adalah pekerjaan tingkat tinggi," kata Stafford sebagaimana dikutip dari Wired.com, (12/8/2014).

Penulis, katanya, fokus pada tugas yang lebih kompleks, yaitu menggabungkan kalimat sehingga menjadi ide yang kompleks. Cara bekerja otak ini berbeda seperti komputer yang dapat menemukan sepersekian detik kata saltik.

Otak kita menggeneralisir bagian demi bagian komponen yang sederhana: mengubah huruf menjadi kata dan kata menjadi kalimat. Otak kita bekerja untuk mengekstrak makna. Generalisasi adalah ciri khas semua fungsi otak tingkat tinggi.

Sebagai contoh, saat Anda mengemudikan mobil menuju rumah teman. Anda melewati rute jalan yang biasa dilalui setiap hari. 

Alhasil, otak saat itu bekerja menggunakan insting dan mengabaikan setiap detil di sekitar perjalanan.

Sama halnya dengan menulis. Saat membaca ulang artikel, kita sebenarnya tidak fokus memperhatikan setiap detil kata dalam artikel karena otak kita sudah mengetahui tujuan artikel ini ditulis.

"Ketika kita membaca ulang karya kita sendiri, kita sudah tahu makna yang disampaikan. Karena kita sangat tertuju pada makna, kita pun menjadi abai untuk melewati bagian yang tidak sesuai."

"Alasan mengapa kita tidak dapat melihat saltik kita sendiri, karena apa yang kita lihat di layar (komputer) bersaing dengan versi yang ada di kepala kita," jelas Stafford.

Sebaliknya, teman atau editor akan lebih cepat menangkap adanya saltik dalam artikel kita, meski mereka sudah familiar dengan kata-kata yang kita gunakan. 

Jangan salah paham. Mereka bukan orang-orang yang sedang mencari kesalahan.

Sebagaimana dicontohkan sebelumnya, teman atau editor seumpama pengendara dari luar kota yang kali pertama melintasi rute yang Anda lewati. 

Karena mereka adalah orang baru, otak mereka akan sangat teliti memperhatikan kondisi di sekitar perjalanan.

Apa kita sendiri tidak dapat lebih hebat untuk menangani saltik? Bisa.

Stafford menyarankan kita agar berusaha membuat pekerjaan menjadi seasing mungkin.

"Ubah jenis huruf atau warna latar belakang, atau cetak lalu edit dengan tangan," ucapnya.

Wah, ide ini sepertinya cocok untuk Prof Mahfud MD sebelum menuliskan cuitan ke platform Twitter. :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun