Mohon tunggu...
susilo ari
susilo ari Mohon Tunggu... Wiraswasta - generalis

ngerti sedikit-sedikit lah

Selanjutnya

Tutup

Money

Bulan Ramadhan Harga Sembako Turun

1 Juni 2019   15:26 Diperbarui: 1 Juni 2019   21:44 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin ada yang mengira judul tulisan saya ini ngawur, tidak sesuai kenyataan. Atau bahkan saya dikira salah ketik menuliskan judul itu. Karena jelas judul itu sama sekali berbalik dengan apa yang terjadi. 

Setiap menjelang dan selama bulan ramadhan berita-berita tentang kenaikan harga, khususnya sembako berseliweran di media. Harga beras naik. Harga bawang naik. Gula naik. Daging sapi juga naik. Telur naik. Ayamnya juga. Dalam tayangan berita televisi, dengan latar belakang komoditas sembako yang dijual, pedagang menjelaskan kenaikan harga beberapa dagangannya. Ibu-ibu yang kebetulan belanja di pasar ditanyai juga oleh reporter TV. 

"Iya, nih. Kemaren saya ke sini harga masih sebelas rebu. Sekarang sudah duabelas setengah. susah kan kita."

Menyusul berikutnya adalah berita tentang petugas pemantau harga yang beroperasi di pasar-pasar. Tentang menteri, gubernur sampai bupati yang main ke pasar tanya-tanya soal harga ke para pedagang. Dan yang tidak pernah ketinggalan, tentang Bulog yang melakukan operasi pasar. Tujuannya tentu untuk menyeimbangkan antara pasokan komoditas dengan permintaan konsumen.

Dalam mekanisme pasar, pergerakan harga barang ditentukan oleh hukum supply dan demand, penawaran dan permintaan. Tepatnya keseimbangan antara supply dan demand. Kalau relatif seimbang, maka harga barang tidak akan bergerak kemana-mana. Kalau njomplang, baru harga bergerak. Njomplang sedikit, harga bergerak sedikit. Tambah njomplang, tambah jauhlah harga bergerak dari tingkat normal. Njomplangnya bisa jadi lebih murah, bisa jadi lebih mahal. Tergantung hubungan supply dan demand. 

Hukum supply dan demand yang banyak dipahami orang adalah harga akan naik jika demand banyak sementara supply sedikit. Atau sebaliknya, harga akan turun kalau supply banyak dan demand sedikit. Umumnya begitu. Tapi tidak selalu. Bisa jadi permintaannya (demand) terhadap barang tetap, sama seperti hari-hari sebelumnya tetapi penawaran (supply) jauh berkurang.

Misalnya pada hari-hari normal orang beli bawang merah juga tidak heboh-heboh amat. Satu keluarga belanja satu ons untuk masak dalam jumlah wajar. Tiba-tiba sentra bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah kebanjiran saat hendak panen. Maka beberapa saat kemudian permintaan ibu-ibu rumah tanggah yang wajar-wajar saja itu tidak bisa dipenuhi karena stok bawang merah menjadi terbatas. No supply. Terciptalah situasi njomplang, tidak seimbang. Akibatnya harga akan naik. 

Kondisi sebaliknya disebut No Demand. Ini terjadi ketika sebetulnya supply relatif normal datar tetapi permintaan (demand) pada saat yang sama jauh menurun. Misalnya terompet tahun baru, sebelum himbauan anti terompet digaungkan. Sebelum malam pergantian tahun, harga satu terompet bisa sampai 2o ribu. Tapi satu-dua jam setelah detik-detik pergantian tahun, tinggal sedikit atau bahkan tidak ada lagi orang yang tertarik untuk membeli. Maka harga terompet akan turun. Begitu. Logis ya?

Lalu apa hubungannya dengan Bulan Ramadhan harga sembako Turun? Bukankah kenyataannya malah naik? Justru inilah yang bertahun-tahun menjadi pertanyaan di kepala saya. Kenapa hukum supply dan demand dalam mekanisme pasar terasa tidak logis di hari-hari menjelang dan memasuki Ramadhan?

Di bulan Ramadhan itu ada laku puasa. Berpantang, menahan tidak makan dan minum dari menjelang fajar menyingsing hingga terbenam. Makan hanya setelah hari gelap. Setidaknya itu yang saya pahami. Laku puasa ini dilakukan oleh sekian juta muslimin dan muslimat, prosentase terbesar warga negara kita.

Dalam benak saya, dengan laku puasa terjadi penurunan tingkat konsumsi bahan pangan secara masif. Minimal sepertiga dari kebutuhan normal karena pada siang hari tidak ada  acara makan. konsumsi beras sebulan yang katakanlah 30kg menjadi 20kg saja. Itu satu keluarga. Dikalikan seluruh keluarga yang menjalani laku puasa, penurunan tingkat konsumsi beras sangat terasa. Itu baru beras.

Tingkat konsumsi sayur-mayur dan lauk-pauk dan bumbu-bumbu juga ikut turun. Tingkat Konsumsi gula pasir mestinya ikut turun juga karena tidak ada acara medang di siang hari. Dalam pikiran saya, laku puasa membuat situasi No Demand. Kalau terjadi No Demand terhadap bahan-bahan kebutuhan pokok dan pangan, sesuai dengan hukum supply dan demand sebagai pembentuk harga dalam mekanisme pasar, harga akan turun. Dalam pikiran saya begitu.

Yang jadi masalah buat saya dan Anda yang melihat judul di atas adalah realitasnya tidak begitu. Harga-harga bahan kebutuhan pokok dan kebutuhan pangan lainnya malah naik. Apakah No Demand tidak terjadi padahal ada laku puasa yang dijalankan oleh jutaan orang dalam kurun waktu yang cukup lama? Rasanya belakangan ini juga tidak terjadi tragedi, bencana alam, kekeringan, penyakit ternak dan tanaman pangan yang membuat supply jauh berkurang untuk memenuhi demand masyarakat di bulan puasa. Artinya pasokan wajar. Berarti permintaan naik dong? Kalau permintaan naik jauh melebihi yang bisa dipasok, terjadi ketidakseimbangan, harga bergerak. Dalam hal ini bergerak naik sampai harus ada operasi pasar untuk menyeimbangkan.

Lho, tapi bukannya puasa mestinya bisa mengurangi permintaan, terjadi No Demand, bukan malah menambah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun