Mohon tunggu...
Fadlan Hidayat
Fadlan Hidayat Mohon Tunggu... -

belajar menuangkan pikiran;

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konflik di Negara Demokratis

17 Januari 2012   01:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:48 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini rencana awal diposting awal tahun tadi, tapi karena baru ada kesempatan buka kompasiana, akhirnya baru bisa diposting sekarang. Gak apa lah, daripada saya simpan di laptop sendiri yang baca cuma saya dong. Gak enak saya, saya juga mau berbagi dengan kompasianer lainnya. Atau para pelintas dunia maya yang kebetulan searching tema ini. Selamat menikmati.

***

Saat ini waktu tengah merayap, pelan tapi pasti lepas landas dari tahun 2011. Hal yang membuat kita tercengang, di penghujung tahun lalu kitamenyaksikan dua konflik yang memakan korban jiwa. Pertama kasus Mesuji di Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan. Kedua konflik di Bima NTB. Hampir semua pembaca, penulis yakin mengikuti perkembangan dua kasus tersebut.

Respon Macetnya Aspirasi

Konflik di Mesuji maupun Bima,keduanya ditengarai karena terabaikannya hak rakyat. Di Mesuji misalnya, rakyat digusur karena tidak memilki sertifikat penanda “hak milik” atas lahan. Padahal mereka telah mendiami dan mengolah lahan secara mandiri. Lantas sebuah perusahaan sawit datang dan mengambil sawit warga yang dikelola dengan memeras jerih payah.

Rakyat digusur, rakyat dibentak dengan arogansi. Tak pelak, emosi pun tidak terbendung dan meletusnya konflik. Perihal penggusuran, warga telah mengadukannya ke pihak terkait. Namun, rakyat kecil “punya” apa ketika uang telah menjadi panglima?

Begitu juga yang terjadi di Bima. Kehadiran perusahaan tambang yang melakukan aktivitas di sekitar pemukiman warga melahirkan kecemasan. Warga cemas karena selama ini pertambangan menghadirkan dampak buruk bagi lingkungan setempat. Pencemaran limbah salah satunya. Bayangkan jika sumber air warga terkontaminasi limbah? Tentu merugikan warga.

Aspirasi yang disampaikan warga kepada pemerintah daerah terkait tidak ditindak lanjuti –bila tidak dikatakan tidak digubris. Kepada siapa para pengurus rakyat mengabdi, kalau ternyata aspirasi menuntut perlindungan tidak ditanggapi? Padahal gaji mereka adalah hasil keringat rakyat. Sebab tidak mendapatkan tanggapan inilah kemudian rakyat Bima melakukan demonstrasi dan pemblokadean jalan. Memang yang disayangkan akhirnya mengganggu aktivitas publik lainnya. Namun mereka tidak melakukan aksi serupa jika saja aspirasi mereka dihiraukan.

Menimbang Adigium Suara Rakyat

Benang merah dari dua konflik di penghujung tahun ini bisa dikatakan disebabkan tidak “terdengarnya” aspirasi rakyat kecil. Publik, khalayak, kita semua sebagai konsumen media pun tiba-tiba kemudian menoleh letupan konflik di sana-sini. Korban-korban jiwa yang berjatuhan membuat kita tersentak.

Siapa sebenarnya suara rakyat dalam demokrasi? Siapa rakyat yang dimaksud dalam ucapan Lincoln “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat?”. Rakyat tidak terdefinisikan sebagai warga negara yang kecil. Kejadian-kejadian di atas sangat beralasan jika dikatakan menggoyahkan bahkan meruntuhkan adigium demokrasi.

Kenyataan bahwa rakyat kecil seringkali gigit jari tidak dapat ditutupi. Pemerintah cenderung menghadirkan kebijakan pada pemodal ketimbang rakyat kecil yang mayoritas. Dalam kasus di Bima misalnya, kebijakan penerbitan izin pertambangan tidak melibatkan warga yang berada di wilayah penambangan. Dalih pemerintah daerah, pertambangan akan memberikan kontribusi dalam pemasukan daerah.

Belakangan peraih nobel ekonomi (2001) Joseph Stiglitz mengomentari demokrasi sebagai sistem dari 1%, oleh 1% dan untuk 1%. 1 persen yang dimaksud oleh Stiglitz adalah elit pemodal besar. Apa yang diungkapkan Stiglitz memang merupakan refleksi dari kehidupan di AS, namun tentu tidak saja berlaku di AS, melainkan di semua negara yang menjalankan pemerintahan demokrasi. Bukankah demokrasi yang tersebar di segenap penjuru dunia dipromosikan oleh AS?

Konflik memang bisa terjadi dalam sistem apa saja. Demokrasi bukan berarti tanpa konflik. Atau konflik bukan soal apakah demokrasi belum mapan atau sudah mantap. Oleh karenanya janganlah kita buta, bahwa demokrasi bukanlah sistem terbaik. Bukanlah satu-satunya yang menjamin terdistribusikannya kesejahteraan dan keadilan secara merata. Fakta justru demokrasi membuat neraca kesejahteraan dan keadilan timpang.

Bagaimana pun, keberpihakan sistem yang timpang, akan menjadi pemantik konflik kapan saja. Apalagi kebijakan yang menganakemaskan pemodal besar, baik asing maupun lokal menandaskan keberpihakan sistem yang timpang. Lain waktu, konflik serupa tidak mustahil akan menyeruak lagi. Lalu kita pun terkejut. Tersentak.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun