Taipei, Taiwan 2003
Tentang Ye Sha dan Shancai
Aku masih berkutat melawan penyakitku ketika kenyataan getir itu mengentakku suatu hari. Sebetulnya harapan itu sudah punah sejak vonis repertum dokter sebulan lalu. Meningoenchepalitis yang kuidap sudah melantakkan segalanya. Namun aku masih menabur asa pada impian yang kerontang.
Dan dengan naifnya mengharap pemuda itu dapat menemaniku sampai menjelang ajal menjemput. Mungkin aku terlalu picik menyikapi kenyataan yang baru kuperoleh - bahwa gadis itu merupakan kekasih dari pemuda yang paling aku cintai - justru pada saat-saat terakhir hidupku.
Mungkin juga aku terlalu egois untuk dapat memiliki Tao Ming Se sepenuhnya meskipun Tuhan hanya mengizinkan aku bernapas tidak berapa lama lagi.
Taipei Bowling Centre masih meniupkan atmosfer yang sama. Udara yang meliuk hangat terasa berat di paru-paru. Aku dan Shancai keluar bersama. Melabuhkan langkah kaki pada poros jenjang prominade yang melintang di atas kanal. Serangkaian birama sepat largisimo yang telah mengaduk benak tepat untuk dibasuh tempias partikel air yang dibawa semilir angin basah dari kanal.
Gadis itu mematung seperti biasa. Ketegarannya menghalau tangis yang hendak pecah dari pelupuk mata. Kupandangi lamat wajahnya yang menunduk. Air kanal yang hitam keperakan ditimpa temaram lampu merkuri di depan kami mengalir tenang. Seperti alur pikiran kami yang merambat getas di dalam benak masing-masing. Terdiam tanpa sepotong kata patah pun sehingga memubazirkan puluhan menit sua langka kami.
Ia menyender di gigir pagar besi kanal, mencoba menyikapi ambangan sunyi dengan paruh senyum paksanya. Tapi semuanya sia-sia. Untaian lara yang bersimfoni tetap memaksa menghadirkan telaga bening di sepasang pipiku. Layaknya seorang hawa, ia dapat meraba kedalaman isi hatiku meski telah kututupi dengan tirai dusta.
"Ye Sha," tegurnya dengan suara lunak. "Kamu jangan membohongi hatimu sendiri!"
Aku mengangkat wajah setelah sedetik menghimpun napas. Disambutnya tatapan mataku yang binar dengan embusan udara yang keluar dari sepasang pelepah tipis bibirnya. Sesaat ia memejam, entah untuk apa.