Mohon tunggu...
Effendy Wongso
Effendy Wongso Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menikah dengan Arwah

7 Maret 2021   00:49 Diperbarui: 7 Maret 2021   01:46 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerpen Menikah dengan Arwah. (chinadaily.com)

Shanghai, 1989

Tidak ada hal yang lebih menyakitkan daripada kehilangan orang yang dikasihi. Benang merah kisah lara selalu memintal kenangan sepat berujung sesal. Saban malam airmatanya mengucur seolah tanpa henti. Membelah gulita dengan giris isak memilukan.

Tabela itu sudah siap dimakamkan. Sanak saudara telah pula mengikhlaskan segalanya. Melepas kepergian Mao Ching dengan tenang, beristirahat dengan damai di alam sana. Namun gadis itu masih bermuram durja. Menangisi kepergiannya yang mendadak.

"Jangan menangis lagi!"

Ada kalimat lembut serupa bisikan menyentuh lunak sepasang gendang telinganya. Intonasi yang sudah diakrabinya sekian tahun. Tanpa menolehkan kepalanya, ia sudah tahu siapa gadis itu. Mao Hua, gadis dengan tubuh jangkung. Kakak perempuan almarhum Mao Ching, satu-satunya penerus keluarga Mao yang tertinggal.

"Kak, saya sakit hati. Ke-kenapa?!" Gadis berambut mayang itu terisak, sertamerta menjatuhkan kepalanya di bahu Mao Hua.

Mao Hua mengelus rambut gadis itu. Sepasang mata kekasih mendiang adiknya itu masih tampak sembap. Setanggi ladan di depan tabela masih pula mengepulkan asap, menambah perih di matanya. Membauri gumpalan air di pelupuk, yang pada akhirnya mengucur seperti tanpa henti berbirama dengan isak tertahan kesedihannya.

Tutup tabela mulai dipaku. Ada jerit dan tangis menderas dari pinggir tabela. Seperti irama rekwin. Pandangannya mengabur. Mao Ching tidak mungkin dapat kembali. Dibiarkannya airmata mengalir melewati pipinya yang tirus. Rangkaian kenangan indah bersama cowok itu telah terpenggal oleh takdir. Ia menjerit tanpa sadar.

"Tuhan tidak adil!"

"Jangan ngomong begitu!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun