"Tapi...."
"Tapi, semua itu cuma halusinasi! Impuls untuk tetap melekat pada sesuatu yang hilang memang berefek buruk. Labilitas kejiwaan itu masuk dalam stadium psikopat ringan. Dan aku tidak ingin gejala penyakit ringan itu mengakut, Ping. Jangan menyesal kalau semuanya sudah terlambat saat kamu divonis gila oleh dokter jiwa!"
"Kak!"
Gadis itu tersinggung. Airmatanya menitik. Ia sakit hati. Tidak ada kesempatan untuk menolong arwah Mao Ching dari rongrongan Yangtze Mo-kui Niang!
"Sudahlah, Ping! Aku tahu bagaimana rasanya sakit kehilangan orang yang kita cintai. Kamu sedih, aku lebih sedih!"
"Ta-tapi...."
"Ingat, dia itu adik kandungku satu-satunya! Papa dan Mamaku terlebih-lebih. Semuanya sedih!"
"Ak-aku...."
"Sekarang, tolong kamu jangan ungkit-ungkit orang yang sudah meninggal begitu. Tolong kamu jangan usik ketenteraman dia di alam sana lagi. Aku sedih kamu tidak rasional begitu, Ping! Aku sedih sekali!"
Tangis gadis berambut mayang itu menderas. Dadanya sesak. Ia dipaksa untuk berpikir realistis. Menggebah irasionalitas yang mengganggu alam pikirannya tiga hari belakangan ini.
Hatinya berdarah.