Â
***
Entah berapa kali Lee Shiaw Ping jatuh pingsan pada waktu itu. Kabar kematian Mao Ching seminggu lalu bagai petir di telinganya. Hatinya giris. Langit di atasnya seperti runtuh. Meremukkan seluruh persendiannya!
Seperti juga siang tadi.
Kesenyapan menyergapnya, seperti sepasang tangan kekar yang memukul tengkuk lehernya sehingga terkulai dengan tungkai lemas. Ia jatuh tak sadarkan diri tepat ketika tabela ditelan tanah. Dan ketika ia terbangun di sebuah tempat tidur dengan bau mentol menyengat, maka disadarinya kejadian beberapa jam yang lalu itu sebagai akhir cerita cintanya!
Malam ini, segalanya terasa kosong.
Airmatanya masih menitik. Dielus-elusnya pigura bergambar cowok bermanik mata teduh, berdiri dilatari The Great Wall di sana. Mao Ching, cintanya yang terpampas!
Ia masih terus memeluk pigura itu sampai bantalnya membasah. Tertidur saat merasa tidak kuat menahan kesedihan yang melelahkan.
"Ping...."
Ada suara dari kejauhan menyapanya. Jauh, jauh sekali. Ia mencoba mencari arah suara itu. Tapi gelap di sekeliling. Ia tidak dapat melihat apa-apa, kecuali merasakan getar tubuhnya yang mendadak seringan balon. Ia melayang, terbang tinggi sampai merasa berhenti pada suatu tempat asing yang dipenuhi teratai.
Ia membeku. Suara itu masih memanggil-manggil namanya. Jantungnya berdegup babur. Perlahan suara itu menjelas, lalu menampakkan sosok serupa cahaya memijar, perlahan meredup dan membeku pada satu titik konstan sebagai bentuk yang paling diakrabinya belakangan ini!