Mohon tunggu...
Efendy Marut
Efendy Marut Mohon Tunggu... -

Imajinasi, juga ingin dikekalkan via kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Hutan, Sumber Mata Air Bukan Air Mata

19 Mei 2017   08:54 Diperbarui: 19 Mei 2017   10:01 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya paling suka menjelajahi hutan, sekurang-kurangnya saat masih tinggal bersama orang tua di sebuah kampung kecil di Pulau Flores, NTT. Hutan, selain sebagai tempat di mana kami beramai-ramai mencari kayu bakar, juga sebagai ruang sakral yang mesti selalu dijaga.

Dari hutan kami mendapat air, sumber kehidupan. Hutan dipandang sebagai dia yang sakral, yang semestinya dihargai sebagai layaknya seorang pribadi. Wajar jika semasa itu, orang tua kami kerap menasihati untuk memeliharanya, minimal tidak sewenang-wenang membabat pohon yang memenuhi hutan itu.

Kisah masa kecil memang selalu punya daya meneguhkan. Nenek saya yang saat itu berumur 65-an tahun kerap kali menasihati agar tidak boleh menebang pohon yang masih hidup. Barangkali nenek saya sepakat dengan David Orton, Coordinator of the Green, yang mengatakan, “kitalah yang seharusnya mengurus hutan, bukan hutan mengurus kita. Jika engkau ingin pohon tetap berdiri, engkau seharusnya berdiri bersama pohon”.

Bagi nenek saya kala itu, untuk keperluan kayu bakar, kita hanya diperbolehkan mengambil ranting kering yang jatuh di sekitaran pohon-pohon. Menebang pohon yang masih hidup adalah haram hukumnya.

Saya menyadari bahwa justru karena hutan itu sakral maka padanya kita mesti bersyukur. Dahaga kita dipuaskan lantaran hutan menyediakan mata air, sumber kehidupan. Hutan adalah tempat di mana air bersemayam, untuk kemudian mengalirkan berkat bagi manusia.

Akan tetapi, saat ini, air kerap hanya dilihat sebagai sumber daya, objek perebutan, incaran investasi yang berujung privatisasi dan melahirkan ketidakadilan dalam distribusinya. Padahal air adalah salah satu hak dasar yang wajib dipenuhi negara. Kenyataan ini tentu saja berawal dari praktik pengrusakan hutan dengan aneka modusnya; deforestrasi, ekspansi perkebunan sawit, illegal logging, menggeliatnya perusahan kayu, dan aneka aktivitas industrial lainnya.

Apa daya, meski di timur Indonesia saya kerap disuguhi nasihat-nasihat bijak orang tua dan nenek moyang yang begitu karib dengan alam, kini di Jakarta saya justru dirisaukan oleh pemberitaan media seputar kerusakan alam dengan rupa-rupa aktivitasnya. Hingga pada akhirnya mengingatkan saya tentang betapa pentingnya suatu kesadaran dan cara berpikir yang integral dan arif terhadap alam.

Di suatu pagi, sembari menyeruput kopi Aceh, saya membaca majalah tempo yang melaporkan investigasi mengenai keberadaan hutan di Kalimantan Timur yang meninggalkan kubangan maut, bekas lahan pertambangan batu bara. Mingguan Tempo melaporkan, “puluhan perusahaan tambang meninggalkan ratusan lubang raksasa bekas galian emas hitam, membuat sekujur permukaan wilayah itu penuh bopeng.

Lima tahun terakhir, sedikitnya 17 lubang bekas tambang memakan korban 27 orang tewas tenggelam. Tak banyak yang tahu, nama-nama tersohor tercatat sebagai pemilik, komisaris, atau direktur perusahaan-perusahaan tambang yang meninggalkan kubangan itu. Ada kerabat kepala daerah, anak konglomerat, hingga menteri” (Tempo, 14 Mei 2017, hal. 54).

Saya lantas tertegun sembari berpikir sejenak dan kemudian bertanya-tanya; separah itukah moralitas manusia sekarang? Hutan yang sejatinya merupakan sumber mata air, tapi justru kini menjadi masalah akut bagi manusia, khususnya bagi masyarakat adat yang telah bertahun-tahun hidup ‘mengakar’ di tempatnya.

Apalagi ketika ditelusuri ternyata pihak yang ‘menciptakan’ air mata itu adalah orang-orang kaya, pemerintah dan pemodal yang punya cara berpikir monodimensional; ekonomi, modal dan keuntungan semata-mata. Benar, mereka ini ibarat mewarisi air mata untuk anak-cucu, bukan mata air, yang adalah sumber kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun